Gegar Budaya di Kampung Halaman Sendiri

Akhir tahun 2016 sampai pertengahan tahun 2017 lalu, gue menghabiskan sebagian besar waktu gue di Makassar. Gue pikir, sebagai manusia yang lahir dan punya banyak keluarga di sana, juga familiar dengan budayanya, gue akan bisa survive dengan mudahnya. Ternyata itu nggak sepenuhnya terbukti. Sebenarnya nggak bisa disebut gegar budaya juga sih, tapi dengan konsep yang sama, ada beberapa momen yang bikin gue cengo, heran, emosi, sampai trenyuh. 

Note: post ini sama sekali nggak dimaksudkan untuk menyinggung atau merugikan siapapun, tapi memang cuma sebagai curhatan si penulis blog tak berfaedah ini.

Colek-Colekan

Dasar si anak malas, paspor expired nggak diurus, sampe kelabakan waktu harus mendadak ke luar negeri. Karena nggak sempat urus di Jakarta, gue akhirnya urus di Makassar. Lagi duduk di ruang antrian dengan alat perang lengkap, tiba-tiba gue dicolek dengan lumayan keras yang cukup bikin kaget. "Pulpen ta' dulu!" Selama sepermili detik, gue cengo. Dengan salting, gue kasih deh pulpen gue. Rasanya beda banget dengan kondisi yang biasanya minimal "Mbak, boleh pinjem pulpen nggak?" Tanpa colekan keras. Itu hari ketiga gue di Makassar, dan gue menertawakan diri sendiri yang mengalami gegar budaya di kampung halaman.

Soal colek-menyolek, gue mengalami kejadian tak mengenakkan di Jalan Somba Opu. Fyi, Jl. Somba Opu itu dipenuhi toko emas yang bikin gue selalu terkesima dengan kilaunya, padahal gue bukan pecinta perhiasan emas. Pas lagi nemenin emak benerin cincin, gue duduk di bangku dalam sebuah toko emas, lalu ada anak cowok pengamen datang dan mulai nyanyi di sebelah gue. Usianya sekitar 10 tahun. Berhubung gue nggak bawa apapun termasuk uang, gue bilang "Maaf ya" ke anak itu supaya dia pergi. Tapi dia nggak berhenti nyanyi, eh malah nyanyi sambil colek-colek seluruh badan gue! WTF?! Gue langsung kabur, naik ke mobil. Soal pengamen, di Makassar ini cukup serem. Siap-siap aja ada wajah yang nempel ke jendela mobil lo saat lagi di lampu merah. Atau anak kecil yang sampe pengen ikut naik ke atas mobil dan baru pergi saat dikasih uang, seperti yang gue alami di Jl. Irian.

Jl. Somba Opu
Lalu Lintas, Hidup Mati Sudah Diatur

Maaaan! I love Makassar so much, but I really hate its traffic! Gila! Saat lo pikir berkendara di Jakarta itu bikin stres karena macet, cobalah berkendara di Makassar. Serius. Sebagian besar orang berkendara nggak ngikutin garis di jalanan. Soal salip menyalip? Suka-suka lo aja, jalanan milik Allah. Belok gak pake lampu sen atau lawan arah? Nggak usah klakson, dia yang salah, tapi pasti lebih galak. Mau tiba-tiba belok kanan padahal lagi di lajur kiri? Silakan, hidup mati udah ada yang ngatur. Gue bahkan pernah stuck hampir 15 menit di perempatan Jl. Rusa karena mobil dari segala arah nggak mau ngalah, padahal udah ada lampu lalu lintas. Penyebabnya? Mereka nggak ngerti konsep lampu kuning. Kalo lagi berkendara sama adek, entah berapa juta kata-kata kotor yang keluar dari mulut kami.

Duduk Nggak Beraturan di Bioskop

Ini gue alami waktu screening Filosofi Kopi 2 di Trans Studio Mall. Selama gue menghadiri acara serupa di Jakarta, semua orang selalu ngikutin nomor bangku yang ada di tiket, walau harus berpisah dengan temannya. Nah, di acara ini gue sempat syok karena meskipun udah dapat tiket beserta nomor bangkunya, semua orang duduk sesuka hati. Gue kaget karena bangku gue udah ada yang nempatin. Tapi sepertinya itu udah lumrah di sana, gue jadi harus duduk ngasal juga walau dengan hati yang terganjal dan memikirkan "Why am I doing this?!"

Straightforward

Ini hal yang bikin gue trenyuh, tapi kadang juga risih. Emak gue sebagai orang Makassar tulen, masih suka banget mempraktikkan ini. Saat lagi di restoran dan emak suka banget makanannya, dia pasti memuji si pemilik restoran atau saat bayar di kasir. Aksi sederhana, tapi sangat membahagiakan bagi para pekerja di restoran itu. "Mie ayamnya enak. Tetap begini ya, kebersihan juga terus dijaga." atau "Biasanya saya nggak habis kalo makan beginian, tapi di sini saya malah pengen nambah." Atau kalau makanannya nggak terlalu luar biasa, emak biasa ngajak kasir/pemiliknya ngobrol santai.

Tapi saat ada yang mengganjal, emak suka banget protes! "Mas, ini kuahnya kok kurang panas?" atau "Asin banget ya?" dengan keras supaya didengerin. Gue suka protes dengan kebiasaan protes ini (?) Tapi kata emak, itu justru membantu restorannya biar meningkatkan kualitas. Memang benar sih. Tapi tetap aja gue risih. Entah ini baik atau buruk, tapi saking cueknya gue, kalo enak ya syukur, kalo nggak enak ya udah nggak usah ke situ lagi. Wk.
 

Kekeluargaan yang Lekat

Ini hal yang gue suka dari keluarga di daerah. Semuanya saling peduli. Saat ada yang ngadain hajatan, semua keluarga, bahkan tetangga, pasti saling bantu, apapun itu. Saat ada yang diopname, tiap hari pasti ada yang datang atau minimal bawain makanan buat yang jaga. Waktu itu gue sempat demam dan emak pake ngomong di grup WhatsApp. Eh bener, para tante langsung berdatangan, padahal gue cuma demam karena kelamaan duduk di depan AC!

Mas Bakso Perhatian

Di dekat rumah oma di Minasa Upa, ada tukang bakso langganan kami. Nah, waktu itu kami makan di sana, dan minta minum Aqua gelas. Karena si mas ini nggak nyediain Aqua gelas, dia sampe tancap gas ke warung terdekat cuma biar bisa nyediain Aqua gelas buat kami, padahal kami nggak maksa pengen minum itu! Beda banget sama di sini yang "Mas, ada Aqua gelas?" "Nggak ada mbak." The end. No Aqua gelas for you.

Soal Hospitality, Ada SOP?

Emak sebagai orang Makassar asli pun merasa aneh soal ini. Seringkali, saat ke toko baju, si staf toko ngelayanin kami sambil ngobrol keras-keras dengan temannya! Sering juga saat lagi bayar di kasir, si kasir ngelayanin sambil ngobrol sama temennya, jadi pelayanannya agak lelet karena nggak fokus. Pernah juga gue lagi makan sendirian di sebuah restoran Korea yang cukup fancy, sekitar tujuh pekerjanya bergerombol di meja kasir sambil ngobrol dan ketawa-ketawa kencang. Ini bukan dosa besar sih, tapi kadang ngeganggu aja, karena kerjaannya jadi nggak fokus. Mereka nggak pake SOP-kah? 

Beberapa kali di restoran, gue minta sesuatu ke waitersnya. "Mbak, boleh tolong minta sendok lagi?" Tanpa kata-kata dan tatapan langsung, mbak itu cuma ngangguk dan bawain sendok yang gue minta dua hari kemudian. Lama banget. Dia langsung ngasih gitu aja dan pergi, tanpa basa-basi atau senyuman saat gue berterima kasih. Gue akui, hospitality di beberapa tempat di Makassar memang harus diperbaiki. Untungnya gue udah paham dengan hal itu. Gimana rasanya kalo jadi orang yang pertama kali ke Makassar, apa nggak syok dikasih muka jutek sama waiters waktu minta sendok?

Nasi Goreng dengan Telur

Selama beberapa bulan di Makassar, gue sangat merindukan beberapa makanan, salah satunya nasi goreng pinggir jalan kayak di Pulau Jawa, karena di sana nasi gorengnya beda. Saat lo cuma bilang "nasi goreng," akan dikasih nasi goreng merah. Nasi goreng biasa yang pake kecap dinamakan "Nasi Goreng Jakarta." Nah, waktu itu gue jalan kaki di Jl. Cendrawasih buat nyari si "Nasi Goreng Jakarta" ini. Ternyata ada yang jual, oh yes! Karena namanya "Nasi Goreng Jakarta," gue pikir segalanya bakal sama. Jadi gue minta tambah telur dadar. Saat penjualnya bilang "Jadi telurnya dua?", gue iyain, karena biasanya juga gue minta telurnya dua, satu dicampur di nasi, satunya didadar.

Sampe rumah, gue syok. Lah ternyata malah dikasih dua telur dadar! Gue baru ingat, nasi goreng di sana tuh emang telurnya didadar, nggak dicampur ke nasi. Jadi saat gue minta telur dadar, itu artinya dia bikin telur dadar dobel! Jadi ngakak sendiri sama kebodohan gue! Btw, meskipun itu namanya "Nasi Goreng Jakarta," rasanya tetap kayak nasi goreng merah, tapi dipakein kecap.

"Logat Jakarta"

Naq Jekarda Gaol Abez
Soal logat ini agak tricky. Gue masih bisa berlogat Makassar, tapi kedengaran fake karena memang nggak terbiasa, jadi itu jarang banget gue pake. "Yaudahlah, yang penting maksudnya tersampaikan." pikir gue. Tapi sayangnya gue merasa banyak tatapan aneh saat berlogat Jakarta kalo lagi ngomong sama orang. Lagi beli sesuatu, contohnya. Gue kadang merasa dianggap "sok" kalo lagi berlogat Jakarta, bahkan suka dikasih harga yang lebih mahal. Malah pernah ada yang bilang "Kan orang Jakarta uangnya banyak," makanya suka dikasih mahal. OMG itu hoax dari mana? :( Kami manusia biasa, yang cuma makan nasi pake telur ceplok atau Indomie aja kalo lagi harus berhemat. Nunjuk ayam di warteg aja nggak berani.

Ada satu kejadian yang bikin gue dan adek ngakak sepanjang masa. Gue dan adek lagi di Sushi Tei, ngobrol seperti biasa. Di meja sebelah ada tiga mbak-mbak berseragam kantoran. Saat kami baru duduk, mereka udah rame ngobrol seperti biasa, dengan logat Makassar. Ada momen mereka diam dan sepertinya dengerin obrolan gue dan adek. Salah satu dari mereka tiba-tiba ngomong dengan cukup kencang ke temennya "EH KALO MENURUT ELOH..." Gue langsung pengen ngakak dan pasang telinga! Seketika, obrolan mereka berubah jadi pake logat Jakarta dan ngobrolin pengalaman mereka di Jakarta, lengkap dengan "gue-lo" yang terdengar aneh. "OH YANG WAKTU ELOH DI JAKARTA ITU KHAN?" yang entah kenapa volume suara mereka jadi lebih keras dibandingkan saat ngobrol dengan logat Makassar sebelumnya. Astaga mbak, kenapa soal logat aja dijadikan kompetisi ya? Wk. Menggunakan dialek khas daerah sendiri itu bukannya nggak keren loh, people! Dialek yang beragam di Indonesia itu unik, jadi, yuk jaga. Nggak perlu lah memalsukan logat cuma demi terlihat keren. Senyaman lo aja. Bahasa dan logat itu buat berkomunikasi kok, bukan buat adu keren.

Dari semua pengalaman gue di Makassar, entah itu menyenangkan atau menjengkelkan, gue tetap cinta Makassar. Sulawesi Selatan, tepatnya. Walau insfrastruktur beberapa tempat wisatanya kurang bagus, banyak tempat yang indah banget di sana. Nggak perlu jauh ke Phi Phi Islands, coba aja ke Rammang Rammang. Nggak perlu bingung cari pantai bagus, di Selayar banyak pantai yang bikin rabun mata berkurang saking indahnya. You have to try our food, omg! Kalo lo cuma kenal Coto Makassar atau Sop Konro, lo belum melihat Makassar yang seutuhnya. Plis cobain Sanggara Balanda yang bikin gue ngefly waktu pertama kali nyoba saking nikmatnya, atau Mie Anto yang nikmat luar biasa meskipun harus joinan sama meja orang lain kalo mau makan di sana. Oh Danke, semacam keju khas Enrekang yang enak banget kalo digoreng dan dimakan sama sambal dan nasi hangat. Jalankote, si pastel sophisticated ini adalah cinta pertama gue. Oke, gue ngiler. Brb. Imma buy a flight ticket to Makassar.


ps: Gue nggak punya foto-foto yang sesuai, jadi yaudah pake foto random aja.

No comments:

Theme images by latex. Powered by Blogger.