30 August 2017

Perjumpaan Sesaat dengan NCT 127 dan Mendadak Ketemu DNCE

Hai guys! Tadinya gue mau ngelanjutin cerita tentang trip di Phuket, tapi mendadak inget "Oiya kan sebelumnya gue ketemu NCT 127 dan DNCE!" *This is a humble brag.

Gue ketemu mereka pas sebelum berangkat ke Thailand, jadi agak terlupakan, apalagi fokus pikiran gue saat itu hanya CNBLUE. Jadi nih, rencananya gue tandeman sama Ron untuk interview NCT 127. Gue bukan fans mereka, tapi selalu ada rasa ingin berjumpa, berhubung masa depan mereka cerah dan mereka anak SM Entertainment. Setelah beberapa hari sebelumnya ngirim 10 daftar pertanyaan dan yang akhirnya diapprove cuma dua, Ron agak kesel karena banyak pertanyaan seru dia malah ditolak. Oke, namanya juga industri K-pop yes.

Bertempat di Grand Mercure Hotel Kemayoran, kami para media disediakan media working room, jadi di sanalah kami nunggu giliran interview. Panitia beberapa kali bolak-balik briefing, menyampaikan pesan dari manajemen NCT 127. "Nggak boleh nanya ini. Jangan begitu." Banyak deh larangannya. Again, namanya juga industri K-pop yes, diatur sedemikian rupa. Setelah itu panitia datang lagi. "Maaf, ternyata yang boleh masuk ke ruang interview hanya satu orang, dan nggak diperbolehkan ambil gambar atau video." Berhubung Ron ngefans banget sama NCT 127, gue merelakan dia aja yang menjalankan tugas, meskipun dengan hati yang dongkol. Sia-sia gue bangun subuh dan berdesakan di kereta sama orang berangkat kerja! Yes, jadwalnya jam 9 pagi, jadi gue berangkat dari Bekasi jam 6 pagi. Sampe sana, ternyata baru mulai jam 11.30! Hellllaaaawww!
 
NCT 127
Di tengah kekesalan, gue yang duduk di bangku depan pintu yang menghadap ke toilet mendapat berkah. Tiba-tiba ada beberapa body guard, dan gue melihat tampak belakang seseorang dengan rambut pink masuk ke toilet. Gue yakin itu anak NCT 127, tapi gue telat nengok. Gue langsung ajak Ron untuk stand by menatap ke arah kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluarlah si cowok Korea berambut pink tadi. Ternyata itu Taeyong, sang leader. Mukanya datar, tanpa senyum. Yaiyalah, aneh juga kali kalo dia keluar toilet sambil senyum-senyum. Oke, perjalanan panjang gue dari Bekasi sudah cukup terbayarkan dengan beberapa detik menatap Taeyong si biggest hits on this stage.

"Jadwal interview DNCE jam 2 ya." kata panitia secara tiba-tiba. Kami semua kaget, karena nggak ada yang tahu kalo ada jadwal bersama DNCE juga! Gue sedikit heboh. Bukan karena excited, tapi karena panik, nggak kenal sama mereka. Cuma tau ada Joe Jonas dan lagu Cake by the Ocean. Udah. Untungnya ada Dundhee yang malah paling heboh dan bantuin gue bikin pertanyaan. 

Mental udah kuat, pertanyaan udah siap, saatnya gue ketemu DNCE.

Belum.

Ternyata ada konferensi pers dulu. Di ruang preskon, gue lagi-lagi duduk di dekat pintu, sibuk nunduk main hape. Tiba-tiba ada yang masuk di pintu itu. Gue nengok. "Hello!" kata Joe Jonas pas di depan muka gue. Disapa Joe Jonas pas di depan muka adalah sapaan terniqmadh dan penuh varoqah. Di sini gue partneran sama Moms Ivy, yang pertama kalinya freak out saat liputan! Serius. Dia salting parah, gue cuma ngakak-ngakak, kocak lagian! Hahaha
Tatapanmu loh mas!
Tibalah saatnya masuk ke ruang interview. Peraturannya masih sama dengan NCT 127 tadi: nggak boleh ambil gambar dan video, dan pertanyaannya cuma boleh yang berhubungan sama musik. Gue dan lima reporter dari media lainnya masuk ke ruang interview dengan disambut senyuman lebar mereka. Semuanya ramah! Yang awalnya gue cuma kenal Joe Jonas, ternyata Cole Whittle si member paling nyentrik justru paling berkesan karena dia paling banyak ngomong dan ketawa. Interview berjalan lancar dan menyenangkan. Joe dan Cole paling banyak ngomong, Jin Joo sesekali, dan Jack tak terdengar sama sekali. 


Ada satu momen sweet yang gue ingat.

Saat bergiliran ngasih pertanyaan, tiba-tiba semua hening, nggak ada yang mau ngasih pertanyaan lagi. Karena pertanyaan gue yang berhubungan sama musik juga udah abis, yaudah sekalian aja gue tanya pertanyaan khas Creative Disc: "Apa lima hal menarik yang orang nggak tahu tentang kalian?" Panitia yang mendampingi mereka agak waspada, sepertinya mau nge-cut gue. Eh Joe malah bilang "It's okay I can answer this." Ternyataaaa artisnya sebenarnya malah lebih selow ugh kuterharu.

Baca hasil interview gue bersama orang-orang menyenangkan ini di:  

Bonus:
Ketemu mereka juga!

AmPm
Setelah ini, kami nunggu lift bareng Afgan. #penting

27 August 2017

Day 3.5 in Bangkok: Restoran Mewah, Pasar Seksi

Goodbye, Bangkok!

Malam terakhir di Bangkok. Sedih. Kenangannya terlalu indah bersama teman-teman yang menyenangkan. 

Setelah sampe hostel sehabis keliling Siam, gue dan Monde istirahat sebentar, nggak sempat nyapa si anak baru yang menggantikan John di bed sebelah, berhubung udah capek parah. Saat badan mulai pulih, Monde turun ke lobby buat ngecengin bebeb nonton Game of Thrones, dan gue stay di depan AC kamar. Dari balik tirai bed, keluarlah timun mas si anak baru, yang sepertinya pengen nyapa tapi malu. Yaudah gue sapa duluan aja. Namanya Tae, asli Thailand. Dia ke Bangkok karena besoknya mau tes Bahasa Jerman di kedutaan, berhubung dia berencana tinggal di Jerman bareng emaknya.
With Tae, di pagi sebelum perpisahan
Komunikasi gue sama Tae ini unik dan membingungkan. Bahasa Inggris Tae sangat terbatas, tapi dia jago Bahasa Jerman. Jadilah kami menggunakan bahasa kalbu tubuh sambil ngakak-ngakak saking nggak jelasnya. Gue merasa iba waktu dia bilang dia merasa buruk karena nggak lancar Bahasa Inggris, jadinya dia minder buat kenalan sama orang, padahal gue udah ngeyakinin dia kalo itu normal, kan emang bahasa utama dia bukan Inggris, gue pun masih belajar. Meskipun ada language barrier yang besar, banyak hal yang bisa kami omongin. Gue cerita kalo dulu gue suka nonton film Thailand dan nyebutin nama-nama artis Thailand yang ternyata dia nggak kenal, kecuali Mario Maurer. Dia ngomongin seberapa tahu dia tentang Candi Borobudur dan Lion Air. Ngeheiiiitsss ya! Dia juga bilang "Untung gue kenalan sama lo, kalo nggak, gue bakal kesepian sendirian di sini." Duh kan emesh! Kami jadi saling ngajarin bahasa negara masing-masing loh!
Bunny favorit dedek.
Lagi asik ngobrol, tiba-tiba si dedek Belanda heboh, Thomas, masuk ke kamar. "OMAIGAT PANAS BANGET!" katanya, langsung heboh. Di hari itu, dia juga abis belanja di Siam buat cari oleh-oleh. Gue baru tau, selain kemiripan bahasa, Indonesia dan Belanda punya kesamaan soal oleh-oleh. Dia kenalan sama Tae dan malah ngobrol pake Bahasa Jerman. Ku ndak sanggup, mas! Waktu gue tanya dia beli apa aja, si Thomas langsung bongkar barang belanjaannya buat dipamerin. "Ini murah banget! Harganya cuma sekian Baht." kata dia sambil nunjukin celana barunya. "Iye, murah di mata uang lo! Bagi gue mah mahal! Tapi semua belanjaan lo nggak sebanding sama apa yang gue beli." Gue langsung ambil boneka selimut titipan si adek buat dipamerin ke dia. "Astaga lucu banget it's so fluffy I could die!" katanya sambil peluk-peluk gue boneka itu. "Lo beli di mana? Harganya berapa? Tokonya di sebelah mana?" masih heboh, sambil foto-fotoin boneka itu. Katanya, dia mau beliin buat temennya. Dia makin heboh saat tahu gue beli boneka itu dengan setengah harga. "Plis temenin gue beli boneka ini besok! Lo nawar harganya buat gue, gue berdiri agak jauh dari lo." Laaaah ternyata di sana bule juga suka dikasih mahal!
Paginya langsung ikutan beli Bunny
Thomas kemudian bilang laper dan ngajak dinner bareng. "Di Silom Plaza ada restoran Italia bagus, kayaknya enak, tapi mahal. Lo mau nggak?" katanya. "Yuk! Ini malam terakhir gue di Bangkok, jadi nggak apalah ya sekali-kali mahal." Yang langsung bersambung dengan tos-tosan. Eh kenapa gue jadi banyak ngutip dialog ya?! Biarlah, biar nggak lupa :"
Dia juga nanya Tae, apakah Tae mau diajak ke restoran mahal, dan ternyata Tae juga mau. Yay! "Gue punya trik supaya kita bayar murah. Bawa minum sendiri!" kata Thomas. Laaaaah itu mah trik gue juga! Hahaha! "Buruan! Gue laper! Waktu kita 15 menit buat siap-siap. Oke. Gue mau pake celana baru ah!" kata si Thomas sambil langsung buka celana saat itu juga. Hadeh! Gue langsung salting dan mengalihkan pandangan, pura-pura nyari hp. "Omaigat gue berasa jadi diri yang baru!" dasar si anak lebay. "Btw, bukan bermaksud menyinggung, Bahasa Inggris lo bagus buat ukuran orang Asia. Lo gimana belajarnya?" kata dia tiba-tiba. "Bagus apaan?! Gue aja nggak bagus ngucapin bahasa gue sendiri!" kata gue, bukan humble brag, tapi emang serius! "Tuh kan! Lo nggak kedengeran kayak orang Asia. Yaudah sih, gue cuma ngasih pujian, jangan nolak." Okelah beb.
Mevvah, enaq, mureh
Gue, Tae, Thomas, Didier dan Monde akhirnya makan di restoran Wine Connection. Gue dan Tae pesan spaghetti carbonara, Thomas dan Monde pesan lasagna, Didier pesan tuna steak. Ternyata makanannya enak banget, porsi besar pula, dan restoran mewah di Thailand pun nggak begitu mahal. Gue sendiri cuma ngabisin 250 baht (100 ribu rupiahan). Banyak hal seru yang kami obrolin di sini, meski kadang roaming. Didier yang udah 1,5 tahun di Thailand dan bisa sedikit bahasa Thailand, ngobrol sedikit pake bahasa itu sama Tae. Kadang Didier juga ngobrol sama Thomas pake Bahasa Belanda. Gue dan Monde ngegosip pake Bahasa Indonesia. Ketemu di tengah-tengah pake Bahasa Inggris. Sungguh meja internesyenel. Salut sama Didier yang sabar banget ngobrol sama Tae dengan bahasa Inggris yang terbatas. Kami juga ngobrolin tentang perbedaan kehidupan sehari-hari orang Eropa dan Asia. "Wait, lo Muslim ya?" kata Thomas. "Gue punya temen Muslim juga. Dia nggak minum alkohol, nggak makan babi, tapi dia have sex." Laaaaah~ Di restoran ini, kami lupa foto-foto dong ih! Kzl.

Saat bayar, ternyata kami semua ngasih jumlah yang lebih, jadinya Thomas nggak sempat bayar bagian dia. Dia sampe kebingungan harus gimana, karena dia nggak enak kalo harus nggak bayar. "Anggap aja lo beruntung." kata gue. "No, KITA yang beruntung, katanya lo mau mango sticky rice kan, ayo gue aja yang beli buat semuanya." 
Thomas - Monde - Didier. Bulu tangannya sampe berkilau :(
Suatu malam di depan ruko kosong
Thomas ngajakin ke Patpong Night Market, katanya banyak penjual mango sticky rice murah di sana. Tae nggak bisa ikutan karena dia harus balik ke hostel, mau belajar buat tes besoknya. Di pasar malam ini, banyak yang nggak kuat dilihat mata gue! Banyak club mesum. Bahkan mereka nawarin "Power Pussy." Sepowerful apakah anu mereka? Gue nggak berani membayangkan. Untungnya bule-bule yang gue temui di Bangkok bukan bule-bule gila clubbing kayak di Phuket. Baguslah, satu frekuensi sama gue dan Monde. Di ujung pasar, Thomas beliin mango sticky rice untuk kami semua, tapi karena nggak ada tempat duduk, kami makan sambil berdiri di depan ruko kosong. Sungguh romantis. Porsi makanan ini cukup besar dengan harga cuma 50 Baht! Sungguh kenikmatan hqq. Thomas bilang dia pengen ke Indonesia juga, apalagi ke Jakarta karena dia dengar, orang Belanda harus banget napak tilas di Jakarta. "Ngapain lo ke Jakarta?! Nggak usah! Macetnya bikin gila. Tapi kalo lo mau menikmati rasanya stuck di tengah jalan, yaudah ayok gue temenin di Jakarta." gue memang pemasar yang buruk. Di jalan pulang, Didier nggak bilang kalo Thomas menuntun kami ke jalan buntu. Thomas dan Monde jalan duluan, sedangkan Didier ngajak gue berenti. "Liat deh. Ini kan jalan buntu. Biarin aja mereka duluan, ntar juga balik. Kita nunggu di sini aja." Dan bener, beberapa menit kemudian, Monde dan Thomas balik! Yaelah bang, bilang dari tadi kek!
Di kamar, kami berempat, plus Tae yang pengen nimbrung tapi harus belajar, lanjut ngobrolin banyak hal random. "Gue mau bobok di sini aja ah, biar gampang ngobrol sama lo." Kata Didier yang tempat tidurnya paling terpencil dan mau pindah ke tempat tidur di depan Thomas. Kyaaaa oppa!
Thomas beli Supreme dulu di kaki lima
Malam semakin larut. Petualangan indah gue di Bangkok resmi berakhir. Gue dan Monde rasanya nggak rela meninggalkan Bangkok karena kenangan yang terlalu indah. Sometimes it's not about the place. It's about the people we meet along the way.

Goodbye, Bangkok.

Hello, Phuket!

26 August 2017

Day 3 in Bangkok: KBRI, Madame Tussauds, Siam

Hari ketiga gue dan Monde diawali dengan berkunjung ke KBRI di dekat Pratunam Market. Setiap temen di hostel tau gue mau ke KBRI, mereka selalu nanya "Did you lose your passport?!" omg nope. Bokap nyuruh gue ketemu temannya yang seorang Atase Pertahanan di KBRI. Saat masuk, gue bingung, harus berbahasa apa sama satpamnya. Ternyata pak satpam itu orang Thailand dan ngajak gue ngomong dengan Bahasa Indonesia yang patah-patah. Cool! Ternyata masuk ke KBRI nggak seketat yang gue bayangkan, dan gue jadi berasa lagi di Indonesia.
Gue sempat nervous untuk ketemu Pak Athan, takut terjadi moment awkward atau semacamnya, tapi beruntung gue punya Monde yang selalu mencerahkan suasana. Ntaps! Di sini kami dapat banyak ilmu, tentang alutsista Thailand yang sebagian besar siap pakai, nggak kayak Indonesia yang alutsistanya banyak yang rusak. Tentang sistem wajib militer di Thailand yang jadi alasan kenapa warga Thailand segitu tertib dan disiplinnya. Jadi setiap warga negara yang terlahir sebagai lelaki, meskipun nantinya dia jadi transgender, akan tetap dipanggil negara untuk ikut wamil selama dua tahun saat usianya 21 tahun. Kalo militer lagi kelebihan kuota, mereka akan menjalani pendidikan di kuil. Mahasiswa S1 di sana harus berseragam hitam-putih supaya nggak ada social gap. Gue juga baru tau kalo jenazah mendiang Raja baru akan dikremasi Oktober nanti! Selama masa berkabung, petugas pemerintahan harus pake baju hitam atau minimal pita hitam.

Nyasar
Patuh Yellow Box
Trotoar lebar dan nyaman
Dari KBRI, kami jalan kaki ke daerah Siam. Untungnya hari itu lagi mendung, jadi panasnya nggak begitu menyengat. Dengan trotoar besar dan bebas pedagang kaki lima, Bangkok ramah pejalan kaki banget! Daerah Siam ini cool abis, beberapa mall dihubungkan sama Skywalk dan terhubung dengan Stasiun BTS National Stadium. Wajarlah ya kenapa Thailand identik sama belanja.

 
Skywalk antar mall
Jadi, mau ke mall yang mana?
Tom Yum Lezat Membara
Berhubung gue dan Monde belum makan Tom Yum sejak menginjakkan kaki di Thailand, kami memutuskan beli seporsi besar tom yum yang bisa untuk sekelurahan. Parah enak dan membara! Tom yum itu selalu enak, tapi kalo dimakan di tempat asalnya, itu lebih istimewa! Kami makan di food court yang sistemnya kayak di eat and eat, beli kartu sebagai alat pembayaran. Setelah kenyang tumpe-tumpe, kami langsung ke Madame Tussauds yang terletak di lantai paling atas Siam Discovery. Tips buat yang mau ke Madame Tussauds, sebaiknya beli tiket online sebelum berangkat. Kami beli tiket seharga 230 ribu rupiah online, sedangkan kalo beli langsung di sana, harganya hampir 400 ribu rupiah! Beda jauh cyin!

Kyaaaa Nickhun oppa!
Mau nyeberang jalan sama mantan
Sebenarnya gue nggak begitu excited buat ke Madame Tussauds karena cuma bisa foto-foto. Buat gue yang nggak begitu suka difoto? Jiper. Begitu masuk ke Madame Tussauds yang diawali dengan patung lilin tokoh-tokoh kenegaraan, gue merinding ngeri, takut tiba-tiba dicolek sama patung Mahatma Gandhi :( Madame Tussauds menurut gue bukan tempat wajib untuk dikunjungi, tapi berhubung gue punya teman yang seru, suasana selalu menyenangkan! Kapan lagi gue bisa mempermalukan diri dengan main di wahana interaktif, atau sok bikin video jayus sama Anggun? Atau menggoda patung One Direction tanpa peduli diliatin orang? I was freeeee~
 
Ini paling seru!
 


Dari Madame Tussauds dengan kaki yang udah lumayan pegal, kami lanjut ke MBK Center. Jadi di Siam ini ada beberapa mall yang katanya murah, MBK salah satunya. Bukan MBK bedak ketek yang gopean itu ya. Siam Discovery? Definitely not. Gue dan Monde selalu sejiwa. Kami anaknya nggak suka belanja, jadi kami ke MBK demi beli oleh-oleh untuk emak aja. Nggak ngerti sih apa nikmatnya belanja di Bangkok, harga barangnya nggak jauh beda sama di ITC-ITC, tapi lo harus nenteng bawaan berat. Nope. Bawaan berat itu sungguh merusak liburan. Makanya gue nggak pernah minta oleh-oleh sama orang yang jalan-jalan, dan males banget kalo ada orang basa-basi "oleh-oleh ya!" Nggak bermaksud pelit, tapi hellllaaaawwww lo mau nentengin koper berat gueh? Why don't you just say encouraging words like "Have fun ya!" instead of "Oleh-oleh ya!" Kalo gue nggak ngerasa ribet, tanpa diminta, gue pasti bawain sesuatu kok. Kata Mamah Dedeh, minta dibawain oleh-oleh itu makruh loh! Eak. Lah salah fokus lagi. Malah raging. Yaudah balik lagi. Di MBK ini gue cuma beli pillow blanket yang lagi ngehits abis di Thailand buat adek, juga beberapa lembar kain Thailand buat dipake jadi kerudung emak. Setelah itu, kaki rasanya berteriak, nyut-nyutan. 
 
Lagi ngehits di Thailand. Boneka berisi selimut.
Dengan secuil sisa tenaga, kami duduk-duduk dulu di Skywalker untuk mengasihani kaki, kemudian balik ke hostel.

Malam indah terakhir di Bangkok semakin dekat...

25 August 2017

Day 2.5 in Bangkok: Tokyo, I'm Coming!

Lokasi hostel kami di Silom ini strategis banget. Selain dekat dengan stasiun BTS dan MRT, di area ini juga banyak street food! Nah, setelah keliling kuil seharian dan batal makan di Asiatique, gue dan Monde cus cari makanan di sekitaran hostel. Ternyata sepi! Nggak ada yang jualan. Setelah keliling selama satu jam, kami nggak nemu tempat makan. Akhirnya kami berakhir di... Seven Eleven. Yaelah! Katanya sih emang kalo hari Senin, nggak banyak orang yang jualan.


Eh iya, kami juga random menelusuri satu jalanan yang kelihatan rame. Sampe di jalan itu, gue berkaca-kaca. Ternyata area itu disebut Little Tokyo! Entah kenapa banyak kode agar gue cepetan ke Jepang. Jalanan ini serba Jepang, mulai dari minimarket, bar, restoran, kios, sampai... wanita penghibur. Di sini banyak banget wanita penghibur buat nemenin makan atau nemenin yang lainnya. Di restoran-restoran bahkan ada paket menu khusus, misalnya "Sexy Sushi," itu artinya lo akan makan sushi ditemani seorang wanita. Menelusuri area ini rasanya kayak beneran lagi di Tokyo, berhubung semua orang berbahasa Jepang. 

Setelah puas berkeliling "Jepang," gue dan Monde balik ke hostel. Nah, di hostel ini ada cewek yang sibuk packing sambil lempar-lempar barang dari bunk bed atas. Selama di Bangkok, gue dan Monde kalo ngomongin orang tuh enak banget rasanya, bisa di depan orangnya, pake Bahasa Indonesia, jadi mereka nggak ngerti. Bukan omongan nyinyir sih, cuma "Eh si A cakep banget ya ih gemes!" tepat di depan si A. Nah, di depan cewek ini pula, si Monde bilang "Cil, mirip Icha ya!" Yang gue balas "Iya ih si Icha sombong banget pura-pura nggak kenal!"
With Mbak Kiki
Beberapa menit kemudian, Thomas si cowok asal Belanda, nanya ke cewek itu. "Lo orang Belanda ya?" karena dia liat kartu ATM Belanda di tumpukan barang cewek itu. Ternyata cewek itu tinggal di Belanda karena suaminya orang Belanda. Liat wajah dan cara ngomongnya, gue curiga dia orang Indonesia, dan gue sedikit panik! Ternyata dia beneran asal Indonesia, dammit! Untung ngomonginnya nggak macam-macam! Mbak Kiki namanya. Kami mulai ngobrol dan ternyata satu frekuensi akan banyak hal! Belum puas ngobrol, Mbak Kiki ngajakin nongkrong di restoran Jepang di Little Tokyo. Jadilah kami berlima ke sana. Ada Mbak Kiki, gue dan Monde, ada juga Thong si host hostel asli Thailand dan Didier si cowok Belgia teman sekamar kami.

Kode keras buat ke Jepang.

I'm in Japan!
Kami ke Musashiya Thaniya, restoran bernuansa Jepang yang makin bikin baper. Di sini kami ngobrolin banyak hal yang sangat bikin pikiran gue terbuka dan sadar bahwa di dunia ini ada banyak pilihan yang bisa lo ambil.

Didier misalnya, dia udah mapan, manajer bagian sebuah perusahaan game, dikasih fasilitas apartemen mewah, mobil BMW dan segala keperluannya dibayarin kantor. Kalo lanjut sampe akhir tahun, dia akan jadi direktur. Tapi dia nggak merasa bahagia, karena dia kerja 24/7, nggak ada waktu untuk bersenang-senang. Jadi dia memutuskan resign dan travelling. Dia udah tinggal di Thailand selama 1,5 tahun loh! 

Ada Thong yang prinsipnya "nikmati apa yang ada sekarang." Intinya, dia ingin hidup sebaik dan semenyenangkan mungkin. Karena itulah dia betah kerja di The Cube Hostel.

Mbak Kiki? Idolaquh! Dia paham betul apa yang dia mau. Dia kerja keras dan nabung supaya bisa ke luar negeri, sampe akhirnya bisa ketemu jodoh dan tinggal di Belanda. 

Orang-orang yang gue temui semuanya berjiwa free. Mereka benar-benar menikmati hidupnya, yang selalu bikin gue kagum. Gue anaknya nggak ngejar karier, kehidupan percintaan, atau apapun. Gue selalu mau bebas dan menikmati hidup kayak gitu. Lah jadi curhat. Inti pembicaraan malam itu, nikmati kehidupan lo, jangan jadi budak korporat. I'm glad I took the risk of quitting and finally be a freelancer. Monde, kapan? ;)

Dari "Jepang," kami mampir Burger King. Di daerah Silom ini banyak gay bar dan banyak pasangan gay, tapi kagumnya, no one gives a fuck! Didier cerita, kalo ada yang godain dia, bukan lagi pake colek genit atau kedip-kedip centil, tapi langsung pegang anunya! Nah, di Burger King ini, Didier nyoba "menjajakan diri," tapi ternyata dia lagi gak laku malam itu! Hahaha

Belum rela malam berakhir, juga karena itu malam terakhir Mbak Kiki di Bangkok, kami lanjut main Uno di hostel sampe jam 4 pagi! Malam kami ditutup dengan Didier yang ribut sama Thong, taruhan karena Didier bersikeras mau ngunci pintu supaya kami nggak bisa masuk ke kamar :"

Seneng ketemu teman-teman baru yang seru ini. Gue nggak merasa sendirian karena punya pemikiran yang agak aneh. Mereka juga nggak peduli kayak gimanapun diri lo, gimana gaya lo, mau gembel kek, stylish kek, semua bodo amat. Pikiran gue rasanya bebas dan lega banget, nggak perlu mikirin apa pendapat orang tentang diri gue. Seneng juga karena ternyata bersenang-senang nggak harus sambil clubbing dan mabuk-mabukan. Gue anaknya bukan anak clubbing banget! Inget waktu gue hanya berdiri awkward di sudut ruangan saat mencoba masuk club di Bali? Atau saat jalan-jalan di Bangla Road yang malah bikin gue pusing? I will tell you about that later.

Pengalaman di Bangkok sungguh melampaui ekspektasi gue. Perjalanan di Bangkok hampir berakhir... 

(Read: Day 2 in Bangkok: Keliling Kuil dan Asiatique Riverfront)

24 August 2017

Day 2 in Bangkok: Keliling Kuil dan Asiatique Riverfront

Di hari kedua ini, jadwal gue dan Monde adalah mengunjungi kuil-kuil yang harus dicapai dengan menyeberangi Sungai Chao Phraya. Keren loh Thailand, sungai pun dibikinin sarana transportasi yang layak untuk nyebrang. Dari stasiun BTS Sala Daeng, kami menuju stasiun BTS Saphan Taksin yang tersambung dengan Dermaga Sathorn. Jangan khawatir karena papan penunjuk arah selalu jelas. Oh iya, selama di Bangkok, kami selalu naik BTS (SkyTrain). Selain dekat hostel, rutenya juga banyak, nggak kayak MRT yang rutenya terbatas atau tuk-tuk dan taksi yang mahal. Naik tuk-tuk untuk berwisata? Nggak perlu, rasanya sama aja kayak naik bajaj kok.
Stasiunnya rapi!
Mesin Tiket BTS
Naik BTS itu gampang banget! Mesin tiketnya hanya menerima uang koin. Kalo lo nggak punya koin, no worries, karena lo bisa tukar uang di loket macam beli koin Timezone. Di peta sebelah mesin tiket, lihat stasiun tujuan lo, di situ tercantum harganya. Misalnya gue mau ke stasiun Saphan Taksin, harganya 15 Baht, gue tinggal tekan tombol "15" di mesinnya, lalu masukin koin, keluar deh tiketnya. Kalo jumlah koinnya lebih, ada kembaliannya kok! Masukin tiketnya ke gate, done, silakan naik BTS! Kalo lo bawa tas besar, biasanya akan diperiksa dulu sama security. Papan penunjuk arah di stasiun selalu jelas kok, lo mau naik kereta arah mana. Nggak usah khawatir, jadwal keretanya tepat waktu, nggak kayak Commuter Line di Jabodetabek yang selalu beralasan gangguan teknis. Meh! Eh iya, ngantrinya harus tertib, jangan berdiri pas depan pintu kayak di Indonesia! Persilakan orang keluar duluan, baru lo bisa naik. Fyi, selalu jalan di sebelah kanan. Baik itu naik tangga atau eskalator, selalu sebelah kanan, karena sebelah kiri untuk orang yang buru-buru. Plis jangan terbiasa menuhin tangga/eskalator dengan berdiri berduaan di kedua sisi!
 
Chao Phraya River
Tiba di dermaga, kami ikut antrian kapal "Orange Flag." Tiketnya bisa dibeli di loket seharga 14 Baht. Ada juga tourist boat, kalo nggak salah harganya 150 Baht, bisa dipake sepuasnya di hari itu. Ogah. Mahal. Tunggu arahan petugas untuk naik ke kapal, dan jangan lupa dahulukan para Biksu. Keren deh Sungai Chao Phraya ini, airnya cokelat, tapi bersih, nggak ada sampah! 
 
Grand Palace dari Luar
 

Kementerian Pertahanannya Keren!

Karena berencana ke Grand Palace, kami turun di Ta Chang Pier (N9). Ikutin aja arus manusia, mereka pasti mau ke Grand Palace juga. Sampe depan Grand Palace, gue dan Monde jiper. Gilak rame banget! Antriannya itu loh, panjang banget. Ini mau masuk Grand Palace apa mau nonton konser BLACKPINK?! Akhirnya kami membatalkan rencana masuk Grand Palace karena males duluan liat keramaian itu. Lumayan, nggak perlu ngeluarin 500 Baht untuk tiketnya. Eh iya, di sini banyak banget turis asal Tiongkok yang tur bergerombol dengan tour leader yang pegang tongkat tinggi dengan boneka di ujungnya. Baik di Singapura atau Thailand, entah kenapa turis asal Tiongkok selalu bergerombol, sambil teriak-teriak pake toa. Ganggu banget kalo mereka udah bergerombol like they own the place. Serius. Mereka suka buang sampah sembarangan. Nggak bisa ngantri pula! :( 
 
Wat Pho
Masih di Wat Pho
Batal masuk Grand Palace, gue dan Monde memutuskan jalan kaki aja ke Wat Pho yang jaraknya 1,5 kilometer. Setelah beli karcis seharga 100 Baht yang termasuk sebotol minuman dingin gratis, kami puas keliling kuil yang mengagumkan itu. Untuk masuk ke area Reclining Buddha yang tersohor itu, pengunjung harus buka alas kaki dan disediain kantong plastik untuk nenteng alas kaki. Btw, kalo ke kuil, harus pake baju yang sopan yah! Nggak boleh pake celana/rok pendek dan baju tanpa lengan. Kalo bajunya dianggap kurang sopan, lo bakal disuruh pake jubah yang warnanya menor. Selama di Bangkok, lo harus selalu pake sunblock! Wat Pho ini baru tujuan pertama, tapi tangan gue udah belang dong!


Wat Arun

Karena kepanasan, kami udah pengen banget balik ke hostel. Sampe di dermaga, ternyata untuk balik ke Sathorn Pier, dermaganya lagi renovasi, jadinya harus ke Wat Arun dulu dengan tiket seharga 3,5 Baht. Yaudah, sekalian aja kami berkunjung ke Wat Arun. Karena kepanasan dan kurang minum, kepala gue rasanya pusing banget, jadi gue nggak ikut Monde untuk naik ke Wat Arun. Perjalanan masih panjang, gue belum boleh sakit. Rules kalo traveling: Know your limit! Nggak usah maksa kalo nggak sanggup. Jangan sampe liburannya malah rusak karena sakit. 

Mendung :(
Setelah kembali ke Sathorn Pier, kami lanjut mau ke Asiatique Riverfront. Di dermaga ini ada shuttle boat untuk ke Asiatique, mulai beroperasi jam 16.00 sampai 23.00. Sampai sana masih terang, jadi Asiatique nggak terlihat sebagus foto-foto di Instagram. Kalo mau ke Asiatique, memang lebih baik malam sih. Nggak banyak yang kami lakukan di Asiatique ini. Tadinya sih mau makan, tapi ternyata di sini mahal-mahal! Sayang aja, harga makanannya bisa dua kali lipat harga normal. Contohnya Mango Sticky Rice yang seharga 50 Baht, di sini dijual seharga 100 Baht. No, thanks. Di Asiatique ini banyak butik dan handcraft yang unik dan nggak dijual di tempat lain, tapi berhubung mahal-mahal dan nggak berjiwa belanja, gue dan Monde nggak tergoda. 

Asiatique
Akhirnya kami kembali ke hostel, dan malam masih panjang...

-To Be Continued-*

*Bukan sinetron

(Read: Day 1 in Bangkok: Jakarta Versi Rapi)
 

23 August 2017

Day 1 in Bangkok: Jakarta Versi Rapi

Bangkok? Ada apa sih di sana? Sama aja kan kayak Jakarta? Cuma tempat belanja kan?

Nope.

Gue belajar banyak hal dari Bangkok. Banyak banget momen tak terlupakan dan sangat berkesan yang gue alami di Bangkok. Saking banyaknya, gue bakal berusaha nulis sedetail mungkin supaya nggak ada yang gue lupakan, makanya perjalanan gue di Bangkok akan gue bagi ke dalam beberapa bagian. Brace yourselves, guys!

Perjalanan gue ke Bangkok ini terbilang cukup mendadak, cuma karena gue pengen nonton konser CNBLUE. Saat gue curhat pengen ke Bangkok, ternyata Monde mau menemani perjalanan gue! Oh yes! Gue nggak expect banyak dari Bangkok, karena waktu  liat-liat di internet, kotanya kok nggak menarik, macet, panas, sama aja kayak Jakarta. Gue juga merasa sedikit khawatir karena penduduknya nggak menggunakan Bahasa Inggris. Terserahlah, gue cuma pengen nonton CNBLUE.

Setelah transit cukup lama di Singapura, pagi selanjutnya gue bertolak dari Changi Airport menuju Don Mueang Airport pake pesawat Scoot tujuan Osaka, yang memang transit di Bangkok. Baper abis! Sejak jadi pecinta dorama waktu SMA, gue bercita-cita ke Jepang, dan gue suka banget dengerin Bahasa Jepang karena menurut gue Bahasa Jepang itu Bahasa terindah di dunia, at least versi telinga gue. Makanya setiap ada pengumuman berbahasa Jepang di pesawat, gue baper sampe berkaca-kaca. Oke. Salah fokus. Balik ke Bangkok.

Di Bangkok ada dua bandara, Don Mueang Airport yang lebih tua, jauh dari pusat kota dan biasanya untuk low-cost carrier alias pesawat murah, dan Suvarnabhumi Airport yang lebih baru yang biasanya untuk pesawat full service alias mevvah. Keluar dari pesawat, oh man Bangkok panas banget! Ini Bangkok apa Cikarang?! Sebelumnya, gue udah tau cerita orang kalo Bangkok itu panas, tapi gue takabur. "Ah Jakarta juga panas. I can manage." Pikir gue saat itu. Gue salah. Bangkok jauh lebih panas! Bandara Don Mueang ini kecil dan terasa banget suasana jadulnya. Antrean imigrasi juga panjang banget! Untungnya ada antrean khusus warga ASEAN yang nggak begitu panjang.

Keluar bandara, gue dan Monde langsung beli sim card hp untuk kami pake selama seminggu di Thailand. Kami beli provider True Move Tourist SIM seharga 299 Baht yang berisi 2,5 GB kuota internet dan pulsa 100 Baht. Di boothnya, kami cuma serahin hp dan passport (dan uang tentunya), nanti petugasnya yang atur semuanya. Btw, setelah ninggalin booth, jangan lupa cek pulsanya. Yang dijanjikan pulsa 100 Baht, pas gue cek, ternyata pulsanya cuma 45 Baht dong! Suwek!


Berhubung kami traveler pelit hemat, untuk menuju pusat kota yang jauh itu, kami anti naik taksi. Kami milih naik public bus pas di depan bandara. Tadinya antara mau naik bus A1 tujuan Stasiun BTS Mo Chit atau A2 tujuan Stasiun BTS Victory Monument yang kemudian lanjut naik BTS menuju hostel kami di Silom. Eh ternyataaaa ada bus A3 tujuan Lumphini Park yang lokasinya dekat hostel kami. Sistem pembayaran busnya sama aja kayak di Indonesia kok. Bayar ke kenek di atas bus, harganya 50 Baht. Beda jauh sama taksi yang bisa sampe 300 Baht ke daerah Silom. Ngelewatin jalan tol, gue belum merasakan liburan, karena mirip banget sama Indonesia. Gue merasa lagi di Pasteur, cuma beda tulisan dan bahasa! By the way, Bangkok masih masa berkabung sampe Oktober nanti, jadi di gedung-gedung masih banyak banget foto dan mural penghormatan untuk Mendiang Raja.
 
Bukan di Kasablanka guys!
Turun di Lumphini Park, kami jalan kaki ke hostel. Seneng banget, warga Thailand lebih tertib daripada Jakarta. Lampu merah untuk pejalan kakinya beneran berfungsi, bukan cuma hiasan aja. Kendaraan juga beneran berhenti di belakang zebra cross. Kondisi jalanan agak macet, tapi hebatnya, semua kendaraan tetap di lajurnya, nggak ada yang berusaha nyelip-nyelip bikin stres kayak di Indonesia. Di sini juga gue nggak pernah dengar suara klakson loh! Salut banget sama penduduk Bangkok. Setelah tiba di hostel dan ngadem sebentar, gue langsung mengejar cinta CNBLUE ke Muang Thong Thani.  


Victory Monument
The Cube Boutique Hostel
Pulang ngonser dengan perasaan berbunga-bunga dan lapar, gue ditemenin Monde ke pasar malam di Silom, dan gue makan Pad Thai seharga 50 Baht yang porsinya bikin isi perut memberontak ingin meledak. Balik ke hostel, gue disambut teman-teman baru. Ada John asal Singapura, juga Laura dan Karen asal Skotlandia. Hostel gue ini per kamar ada lima bunk bed untuk sepuluh orang. Setelah ngobrol sebentar, mereka semua, termasuk Monde, lanjut nongkrong di halaman belakang hostel sampe subuh!
Us with Karen and Laura
Gue? Tepar. Belum tidur beneran waktu di Changi, ditambah abis ngonser, rasanya udah lemes banget, sedangkan ini masih hari pertama. Perjalanan masih panjang...