30 November 2017

Ciwidey, 2017: "You Basically Live in Paradise."

Walau udah jutaan kali ke Bandung plus kunjungan hampir setiap minggu waktu bokap bertugas di Bandung, gue belum pernah tuh merasakan jadi traveler di Bandung. Nah, kali ini gue memutuskan untuk kembali ke Bandung sebagai traveler. Lagi-lagi bersama Monde.

Hari pertama, kami main ke tempat-tempat yang selalu gue lewati di Bandung, tapi nggak pernah benar-benar gue nikmati dan lihat dari dekat. Kebanyakan berteduh karena hujan, kami mampir main di Alun-Alun dan Masjid Raya Bandung, lanjut jalan kaki menyusuri Jl. Asia-Afrika, Jl. Braga, lanjut ke Taman Sejarah di Jl. Aceh. Pulangnya, karena gue terlalu ngidam kopi, kami mampir di Wiki Koffie yang ternyata salah satu kedai kopi pertama di Bandung. Kami duduk dekat jendela denga pemandangan persimpangan Jl. Braga. Berasa lagi di Eropa! Gue juga berasa jadi Raisa, menyeruput kopi hangat sambil menatap lalu lintas persimpangan. *Raisa apa Polisi Lalu Lintas?!
 
Bukan di Eropa
Malamnya kami kembali ke Hostel di Jl. Buton dan kenalan sama dua traveler: Trix asal Belanda dan Philip asal Jerman. Sebelum ke Bandung, mereka juga sempat ke Jakarta, dan keduanya sepakat: mereka nggak suka Jakarta! "Nggak banyak tempat yang bisa dikunjungi. Jalan kaki susah, nyeberang aja nggak bisa!" kata mereka. I feel you! Setelah dari Bandung, masih banyak tempat yang akan mereka kunjungi kayak Yogyakarta, Banyuwangi, Bromo, Bali dan Lombok. Philip dan Trix ini juga baru kenalan di hostel, tapi akhirnya mereka bakal keliling Indonesia bareng. Di malam pertama itu, di bawah gerimis lucu, kami jalan-jalan di Braga. Akhirnya gue resmi jadi turis! Itu pertama kalinya gue jalan bareng teman foreigners di Indonesia. Waktu di Bangkok, walau jalan sama bule yang fisiknya berbeda, nggak banyak tatapan tajam dari orang sekitar. Waktu di Bandung, punggung gue rasanya berdarah tertusuk tatapan orang. Padahal mereka ngeliatin Trix dan Philip, bukan gue. HA! Malam itu kami banyak bertukar cerita tentang segala hal. Mereka excited dengerin cerita kehidupan orang Indonesia secara detail, kayak gimana hubungan dalam keluarga Indonesia, atau bagaimana Agama memengaruhi kehidupan kita, termasuk gimana cara orang Indonesia kencan! Kami makan malam di Warung Upnormal. Begitu masuk, tatapan pengunjung lain beterbangan di udara. Bahkan beberapa orang diam-diam ngeluarin hp untuk motret Trix dan Philip. Yeah, foto aja, kami nggak nyadar kok! Sok atuh!

Hari berikutnya, kami jalan-jalan ke Ciwidey. Inilah hari pikiran gue rasanya langsung terbuka lebar sampai tumpe-tumpe, yang bikin gue semakin sayang sama Indonesia. Saat mulai memasuki area kebun teh, Trix dan Philip kegirangan dan langsung motret kebun teh sebanyak mungkin. Gue baru sadar, selama ini gue meremehkan keindahan itu. Setiap lewatin kebun teh, gue semacam "Iya, bagus," tapi cuek aja, nggak mikir itu hal yang luar biasa. 

"You basically live in paradise. Just 2 hours of driving and you get this. You don't need to go abroad." Kata Philip di depan sebuah warung yang kami singgahi dalam perjalanan. Gue berasa dapat hidayah. Ya, negara gue seindah ini!

Ada beberapa tempat yang kami singgahi: Kawah Putih, Glamping Situ Patenggang, Kebun Teh Rancabali.

Kawah Putih


Gue belum pernah ke Kawah Putih, tapi sering dengar komentar orang lain.
"Biasa aja, bagusan yang di...."
"Ah gitu doang, cuma liatin danau."
"Sayang banget kalo lagi berkabut, nggak bisa lihat apa-apa."
Komentar-komentar itu bikin gue nggak begitu excited ke Kawah Putih.

Tiba di sana, kabutnya tebal banget. Sebelum masuk ke area kawah, penjual-penjual di situ bilang cuaca lagi jelek, aroma belerang tajam, jadi harus pake masker. Gue sempat goyah, karena dari foto-foto yang gue lihat, di Kawah Putih orang selalu pake masker, macam masker Gojek.

"Emang harus ya? Yang mereka omongin itu kan soal gas, sedangkan masker gas itu beda, bukan yang ginian. Masker kayak gini mah untuk menghindari virus, bukan gas." kata Trix. 

Bener juga! Akhirnya kami nggak beli masker, dan ternyata nggak apa-apa kok! Di daerah kawah, kabutnya tebal banget! Normalnya, gue mungkin akan kecewa karena nggak bisa lihat apa-apa. 

Tiba-tiba Trix nyeletuk: "Wah, berkabut gini aja, tempat ini bagus banget! Misterius!"


Bener juga! Daripada kecewa karena kabut, lebih baik melihat situasi itu dari sudut pandang berbeda. Gue langsung merasa ada di dunia lain. Pohon-pohon tanpa daun, tempat yang tertutup kabut...
Gue berasa lagi syuting film horor di dunia lain. Suasana misteriusnya malah bikin tempat itu berasa magical.

 
Glamping Situ Patenggang

Credit to Monde
Ini tempat buat kemah mevvah yang dikelilingi kebun teh dan danau. Di sini juga ada restoran berbentuk kapal Phinisi yang keren. Di restoran ini, Trix dan Philip sibuk 'meet and greet', karena banyak orang ngantri untuk ngajakin mereka foto bareng. Ha! Menurut Trix, mereka lebih senang kalo diajak foto secara baik-baik daripada difoto diam-diam.
Setelah acara 'meet and greet' selesai, kami turun untuk jalan-jalan di pinggir danau, keliling kebun teh. Trix kegirangan bisa lihat daun teh secara langsung, dan tanpa mikir, dia metik satu daun dan langsung dikunyah! Mereka bahagia karena pertama kalinya lihat tumbuhan teh, bukan cuma teh yang tinggal diseduh. Tumbuhan teh yang menurut gue biasa aja, ternyata jadi hal luar biasa buat mereka.

Kebun Teh Rancabali

Sadam dan Sherina
"This is one of the most beautiful things I've seen in my life!" kata Trix waktu kami turun dari mobil, siap-siap syuting Petualangan Sherina di tengah kebun teh. Jalan miring di tengah kebun teh, entah serangga apa aja yang udah nempel di badan, berapa baret-baret kecil di kulit, kami tetap excited untuk menuju ke tengah kebun, tempat batu besar bisa ditongkrongin.

Di batu besar itu, kami duduk nyantai aja menikmati segalanya. Udara, suasana, keheningan...
"I could sit here my whole life."
"This is exactly how I envisioned Indonesia."
Kata mereka.

Di perjalanan pulang, kami mampir beli strawberry dan mangga, yang kemudian kami makan bersama di meja hostel sambil lagi-lagi sharing tentang kehidupan. Mereka senang banget bisa makan strawberry dan mangga enak dengan harga murah meriah, karena di negara mereka, harganya bisa lima kali lipat! Serius, di perjalanan ini gue nggak merasakan sedikit pun kekecewaan yang mungkin biasanya akan gue rasakan saat ada rintangan tak terduga. Semua karena segala kekaguman Trix dan Philip yang bikin gue ikut merasa ceria.

Rasanya menggelitik hati ngeliat gimana Philip dan Trix kagum sama hal-hal kecil, seperti gimana waktu gue dan Monde nyampurin sambal dan kecap saat makan bakso, atau gimana kebiasaan orang Indonesia yang kalo ngasih sesuatu harus pake tangan kanan. Bahkan soal jenis wajah gue dan Monde yang agak berbeda, walau kami sama-sama orang Indonesia. Mereka juga menghormati nilai lokal, dengan selalu bertanya "Is it rude if I do this? Or that?"
 
Pemandangan dari jendela kereta
Selalu ada hal baru yang gue dapatkan dari orang-orang yang gue temui selama traveling. Apresiasi mereka tentang keindahan Indonesia yang biasanya gue abaikan, akhirnya bikin mata dan pikiran gue terbuka. Ternyata gue hanya harus melihat lebih dekat dan lebih dalam untuk menikmati hal sederhana namun menyenangkan.
Ada yang woke up lyk diz, ada yang rambut liar
Satu pertanyaan Trix yang nggak bisa gue jawab:
"Indonesia is the land of coffee, but why do most people here drink instant coffee?"

23 October 2017

Gedung Baru Perpustakaan Nasional RI: Canggih!


"Perpustakaan tertinggi di dunia."

Begitu kata artikel-artikel berita tentang gedung baru Perpustakaan Nasional. Nah, sebelum nonton konser Taeyang kemarin, gue menyempatkan diri mampir ke Perpusnas. Lokasinya di Jl. Medan Merdeka Selatan, pas depan Monas, tetanggaan sama Balaikota. Sampai di sana, gue terpesona! Beneran nggak seperti perpustakaan dalam bayangan gue yang remang-remang dan bau apek. Ini adem, bersih dan wangi. Sayangnya gue cuma punya dua jam untuk menjelajahi Perpusnas ini, jadi yang gue lihat terbatas banget. Anyway, gue belum pernah ke Perpusnas versi lama, jadi gue nggak tahu apa bedanya sama yang baru. Berikut beberapa bagian yang sempat gue kunjungi hari itu.


Museum

Perpustakaan ini terdiri dari dua gedung. Di gedung pertama ini semacam museum berisi foto-foto dan kitab bersejarah.

Museumnya modern dan adem. Museum ini berisi tentang sejarah pustaka di Nusantara, juga beberapa huruf tradisional berbagai daerah. Di museum ini ada speaker yang menjelaskan tentang isi museum, dan yang di tengah itu semacam layar interaktif tentang sejarah pustaka. Nggak ada kesan jadul di museum ini.


Ada taman yang menyambungkan gedung pertama dan gedung kedua, si gedung tertinggi. Nongkrong sore di sini sepertinya enak. Sayangnya gue ke sini pas lagi panas seksi, jadi nggak bisa nongkrong kece menikmati udara Jakarta.

Di dalam gedung baru setinggi 24 lantai ini, gue nggak berasa di Indonesia saking kerennya. Lift dan eskalatornya memadai, di tiap lantai ada petugas yang sangat helpful, juga disediakan kursi roda untuk yang membutuhkan. Gue takjub lihat rak buku setinggi 3 lantai (atau 4? Lupa.) di tengah gedung ini.

Pendaftaran Anggota dan Loker


Di Lantai 2, kita bisa daftar jadi anggota Perpusnas. Di sini disediakan banyak komputer, jadi nggak usah berebutan yes. Isi data di komputer itu dan kalo udah selesai, bakal keluar nomor antrian di alat kecil yang ada di setiap komputer. Kalo kita udah jadi anggota Perpusnas, kita juga bisa akses e-library Perpusnas loh! Jadi nggak perlu jauh-jauh ke Jakarta kalo lagi butuh buku tapi nggak bisa ke mana-mana.

Setelah itu tunggu nomor antriannya dipanggil untuk foto dan verifikasi data. Ada layar dan speaker yang bakal manggil nomor antrian, jangan sampai kelewat. Gue datang di jam ramai, jadi waktu gue terbuang setengah jam hanya untuk daftar keanggotaan. Nantinya kita dikasih kartu anggota yang berlaku selama 10 tahun.

Di lantai ini juga disediakan loker untuk nitip barang. Waktu itu gue bawa ransel, jadi gue harus titip tas. Di dekat pintu masuk, ada petugas yang bakal ngasih kunci loker, kita tinggal cari aja nomor yang sesuai, taro barang, bawa kuncinya, jangan sampai hilang. Kalau bawa laptop, kita bakal dipinjamkan tas bening untuk nenteng laptop keliling Perpusnas. 

Fasilitas Lansia, Difabel dan Anak


Di Lantai 7, ada ruangan khusus lansia dan difabel. Perpusnas ini memang nyaman banget untuk segala kalangan. Di rak-raknya ada handle besi untuk pegangan, juga banyak buku dan ensiklopedia berhuruf Braille. Jangan khawatir, di setiap ruangan pasti ada petugas yang siap membantu, termasuk di ruangan ini.

Meja baca. Masih sepi!






Pilar-pilar itu berisi dongeng rakyat loh!
Di lantai yang sama, ada ruangan khusus anak-anak. Selain buku anak-anak, di ruangan ini juga disediakan mainan dan panggung kecil untuk anak-anak tampil. Untuk masuk ke ruangan ini, kita harus buka alas kaki, jadi pastikan kakinya wangi ya! HA!

Panggung mini
Area Bermain
Di area anak-anak ini juga ada Taman Anak, jadi mainnya nggak cuma di dalam ruangan. Sayangnya waktu gue ke sini, pintu menuju taman ini terkunci! :(

Ruang Koleksi Audiovisual


Ini mungkin salah satu ruangan yang paling bikin gue amazed. Ruangan ini berisi beragam pemutar audio dan visual, kayak VCR atau apapun player jadul itu. Disediakan juga beragam CD dan DVD film dan musik. Genre filmnya beragam, mulai dari dokumenter sampai film horror. Girang banget waktu gue nemu boxset Star Trek di sini! Soal musik juga nggak kalah seru. Di sini juga ada studio musik dan mini teather loh!

Mulai dari Westlife...
Sampai TVXQ!

Koleksi Buku
*heavy breathing*
Di Lantai 23, ada Layanan Koleksi Mancanegara dan Majalah Terjilid. Koleksinya cukup banyak, tapi nggak bisa gue bilang lengkap. "Majalah Terjilid" pun belum ada. Yah mungkin karena baru sebulan diresmikan, jadi koleksinya juga masih dalam proses perbaruan berkala.

Rak koleksi mancanegara ini dibagi per wilayah. Untuk wilayah yang ngehits kayak Amerika, Eropa Barat, Asia Timur, atau Australia, koleksinya cukup banyak. Sayangnya, koleksi buku untuk negara-negara Timur Tengah, Eropa Timur atau beberapa negara di Asia Tenggara kayak Laos dan Myanmar, raknya sepi!

Gue lagi keranjingan cari tahu tentang Korea Utara. Nah, di sini koleksi buku Korea Utaranya cukup banyak loh! Bahkan banyak buku jadul asli terbitan Pyongyang. Setahu gue, kalau di fasilitas terbuka kayak di lantai ini, buku yang mau dibaca silakan ambil sendiri, silakan baca, tapi saat selesai baca, jangan kembaliin sendiri ke raknya. Taro aja di meja yang disediakan, biarkan para Pustakawan yang ngembaliin bukunya ke rak, karena deretan buku di rak itu ada teknik tertentu.

Nah, di beberapa lantai yang berfasilitas tertutup, untuk baca bukunya, kita harus minta bantuan Pustakawan untuk diambilkan bukunya, jadi nggak boleh sembarangan. 

Salah satu area yang wajib dikunjungi adalah rooftop di lantai 24. Waktu itu, gue berniat ke rooftop saat Perpusnas udah mau tutup aja, biar nggak terlalu panas dan silau. Nah, keasyikan baca buku, tiba-tiba ada pengumuman Perpusnas akan ditutup, jadi semua pengunjung diminta pulang. Sosad! Yaudah, harus puas foto-foto di lantai dua aja. Lumayan, bisa sambil liat Monas!


Buat yang pengen ke Perpusnas, please ingat peraturan dasar perpustakaan: Jangan berisik! Silakan kalo mau foto-foto, tapi plis nggak usah pake cekikikan heboh.

Walau baru diresmikan satu bulan, Perpusnas ini udah melampaui ekspektasi gue, dan ke depannya pasti bakal lebih bagus. Semoga semua orang punya kepedulian untuk menjaga Perpusnas ini, biar tetap bagus! Salah satu hal yang gue sayangkan waktu itu adalah pintu daruratnya. Saat mau pindah ke lantai yang nggak terlalu jauh, gue memilih lewat tangga daripada nungguin lift yang lama. Eh ternyata di beberapa lantai, pintunya terkunci! :(

Edit 20 Maret 2018

Akhirnya ke Perpusnas lagi untuk kedua kalinya, dan ternyata udah banyak perubahan.
1. Loker sekarang letaknya di lantai satu.
2. Jam operasional Senin-Kamis diperpanjang jadi sampai 18.00, Jumat-Sabtu tetap sampai 16.00. Mayan, bisa lihat sunset!
3. Balkon di Lt. 24 udah nggak boleh untuk umum.
4. Setiap mau masuk setiap lantai koleksi, harus nunjukin kartu member Perpusnas atau kartu identitas.
5. I HATE THE ELEVATOR OMG! Gue ngabisin sekitar 10 menit cuma untuk turun dari Lt. 23. Keselnya, misalnya ada lift yang turun dari Lt. 24, eh Lt. 23 dilewatin dong, liftnya nggak berhenti. Jadi yah untung-untungan aja. Bisa sih lewat tangga darurat, tapi lutut rusak juga ya harus turun 23 lantai.

15 October 2017

Taeyang White Night in Jakarta: Kesurupan BIGBANG


"Belum bisa nonton BIGBANG yang asli, nonton yang KW aja dulu."

Begitu post instastory gue waktu boy group Indonesia, B Force, membawakan Bang Bang Bang di Music Bank. Siapa sangka celetukan iseng gue bisa separuh terwujud? Hari berikutnya, gue mendadak nonton G-Dragon. Sebulan kemudian, gue nonton Taeyang.

Seperti yang pernah gue bilang, gue suka banget BIGBANG, tapi nggak familiar sama lagu-lagu solo membernya. Untungnya sebelum nonton Taeyang, gue bisa bersiap dengerin lagu-lagunya, biar nggak buta banget kayak waktu nonton G-Dragon. Tau Taeyang bakal bawain lagu BIGBANG, gue malah fokus nontonin BIGBANG. Ekspektasi gue jadi tinggi banget, berharap konser Taeyang bakal heboh kayak BIGBANG atau minimal seseru G-Dragon kemarin. Ternyata gue salah. Konser Taeyang nggak seheboh itu. Bukannya buruk ya, cuma berbeda dari ekspektasi gue, karena lagu Taeyang memang sebagian besar selow, bukan buat jejingkrakan.

Taeyang membawakan Ringa Linga sebagai lagu pembuka, juga lagu solo Taeyang yang gue dengarkan pertama kalinya saat sering diputar di TV zaman dahulu kala. Nggak hafal lirik, minimal gue tau "Reng goreng goreng, reng goreng goreng~" Anyway, di konser ini, semua penontonnya duduk. Bagus sih, jadi rapi, tapi hampa banget nggak sih, nonton konser nggak pake jejingkrakan? Penontonnya pasif banget, cuma teriak-teriak sambil duduk. Saat penonton yang di depan berdiri, yang belakang marah. Apa serunya? :( Ada saat Taeyang teriak "Jump! Jump!" Eh penonton masih betah duduk. Damn I was NOT going to miss the moment. Gue langsung lompat-lompatan berdua sama sesama reporter di sebelah gue. Bernuansa putih sesuai temanya, "White Night", Taeyang beberapa kali pergi ke balik panggung untuk ganti luaran yang selalu berwarna putih dengan model berbeda, dari cardigan biasa sampe jaket model kemoceng. Menurut gue, dia agak terlalu sering ninggalin panggung, jadi kehebohannya kepotong-potong. Di awal, baru tiga lagu, dia udah pergi ke balik panggung. Berasa nanggung.

Suara Taeyang jernih banget astaga! Ada beberapa sesi akustik, suaranya makin merasuk jiwa raga, nempel di hati. Saat Taeyang bawain Good Boy, gue udah nggak mikirin perasaan penonton belakang. Konser itu saatnya lo beraksi seheboh mungkin, bukan cuma duduk kalem macam nonton di laptop. Lagi-lagi gue dan reporter di sebelah langsung berdiri dan jejogetan. Btw, gue seneng karena Bahasa Inggris Taeyang fasih, jadi gue ngerti semua kata dia. Waktu konser G-Dragon, gue sosad karena nggak ngerti dia ngomong apa. Gue merasakan baper maksimal saat Taeyang ngebawain Last Dance. Pertama, karena gue belum pernah nonton konser BIGBANG. Kedua, karena gue harus nunggu beberapa tahun sampai mereka lulus wajib militer dan comeback. Sempat berhenti dan ngulang dari awal karena kuncinya nggak cocok, gue berasa duet sama Taeyang nyanyiin lagu ini.
A post shared by Sheyla Ashari (@sheylamcf17) on

Gue histeris, lupa dunia akhirat saat Taeyang ngebawain Bang Bang Bang dan Fantastic Baby. Sepanjang dua lagu ini, gue lompat dan jejogetan seheboh mungkin, nyanyi sekeras mungkin walau nggak hafal liriknya. Iyalah, ngafalin lagu berbahasa Inggris aja gue susah, apalagi Bahasa Korea?! Dua lagu ini berasa bikin malam gue jungkir balik. Yang tadinya adem aja selama nonton, di dua lagu ini, gue semacam kesurupan dan saat selesai, gue ngos-ngosan dan mandi keringat. Worth it! Yang bikin baper, suara GD, TOP, Seungri dan Daesung terdengar membahana. Belum bisa ketemu, minimal bisa dengerin suara mereka di speaker besar.


Tata panggung konser kali ini nggak jauh beda sama konsernya dua tahun lalu. Soal setlist juga nggak jauh beda, cuma beberapa diganti buat bawain lagu-lagu dia dari album baru. Ini kedua kalinya gue nonton konser solo Taeyang. Konser solo pertamanya di Jakarta ternyata lebih seru dibandingkan yang  ini. Yang dulu, Taeyang sempat ngasih sepatu bertanda tangan ke penonton yang beruntung, ngajak seorang fans naik ke panggung untuk dinyanyiin, dan nggak pake baju saat bawain Eyes Nose Lips. Kali ini nggak banyak fan service yang dia kasih, apalagi adegan buka baju. Min Hyo Rin lokal sedih! :(
Taeyang dan "Taeyang"
Kalo tulisan ini seolah menyiratkan konser White Night Taeyang kurang seru, ingatlah, wahai manusia, konsep "kurang seru" bagi Taeyang adalah konsep "di atas rata-rata" konser yang biasa gue tonton.

22 September 2017

Gegar Budaya di Kampung Halaman Sendiri

Akhir tahun 2016 sampai pertengahan tahun 2017 lalu, gue menghabiskan sebagian besar waktu gue di Makassar. Gue pikir, sebagai manusia yang lahir dan punya banyak keluarga di sana, juga familiar dengan budayanya, gue akan bisa survive dengan mudahnya. Ternyata itu nggak sepenuhnya terbukti. Sebenarnya nggak bisa disebut gegar budaya juga sih, tapi dengan konsep yang sama, ada beberapa momen yang bikin gue cengo, heran, emosi, sampai trenyuh. 

Note: post ini sama sekali nggak dimaksudkan untuk menyinggung atau merugikan siapapun, tapi memang cuma sebagai curhatan si penulis blog tak berfaedah ini.

Colek-Colekan

Dasar si anak malas, paspor expired nggak diurus, sampe kelabakan waktu harus mendadak ke luar negeri. Karena nggak sempat urus di Jakarta, gue akhirnya urus di Makassar. Lagi duduk di ruang antrian dengan alat perang lengkap, tiba-tiba gue dicolek dengan lumayan keras yang cukup bikin kaget. "Pulpen ta' dulu!" Selama sepermili detik, gue cengo. Dengan salting, gue kasih deh pulpen gue. Rasanya beda banget dengan kondisi yang biasanya minimal "Mbak, boleh pinjem pulpen nggak?" Tanpa colekan keras. Itu hari ketiga gue di Makassar, dan gue menertawakan diri sendiri yang mengalami gegar budaya di kampung halaman.

Soal colek-menyolek, gue mengalami kejadian tak mengenakkan di Jalan Somba Opu. Fyi, Jl. Somba Opu itu dipenuhi toko emas yang bikin gue selalu terkesima dengan kilaunya, padahal gue bukan pecinta perhiasan emas. Pas lagi nemenin emak benerin cincin, gue duduk di bangku dalam sebuah toko emas, lalu ada anak cowok pengamen datang dan mulai nyanyi di sebelah gue. Usianya sekitar 10 tahun. Berhubung gue nggak bawa apapun termasuk uang, gue bilang "Maaf ya" ke anak itu supaya dia pergi. Tapi dia nggak berhenti nyanyi, eh malah nyanyi sambil colek-colek seluruh badan gue! WTF?! Gue langsung kabur, naik ke mobil. Soal pengamen, di Makassar ini cukup serem. Siap-siap aja ada wajah yang nempel ke jendela mobil lo saat lagi di lampu merah. Atau anak kecil yang sampe pengen ikut naik ke atas mobil dan baru pergi saat dikasih uang, seperti yang gue alami di Jl. Irian.

Jl. Somba Opu
Lalu Lintas, Hidup Mati Sudah Diatur

Maaaan! I love Makassar so much, but I really hate its traffic! Gila! Saat lo pikir berkendara di Jakarta itu bikin stres karena macet, cobalah berkendara di Makassar. Serius. Sebagian besar orang berkendara nggak ngikutin garis di jalanan. Soal salip menyalip? Suka-suka lo aja, jalanan milik Allah. Belok gak pake lampu sen atau lawan arah? Nggak usah klakson, dia yang salah, tapi pasti lebih galak. Mau tiba-tiba belok kanan padahal lagi di lajur kiri? Silakan, hidup mati udah ada yang ngatur. Gue bahkan pernah stuck hampir 15 menit di perempatan Jl. Rusa karena mobil dari segala arah nggak mau ngalah, padahal udah ada lampu lalu lintas. Penyebabnya? Mereka nggak ngerti konsep lampu kuning. Kalo lagi berkendara sama adek, entah berapa juta kata-kata kotor yang keluar dari mulut kami.

Duduk Nggak Beraturan di Bioskop

Ini gue alami waktu screening Filosofi Kopi 2 di Trans Studio Mall. Selama gue menghadiri acara serupa di Jakarta, semua orang selalu ngikutin nomor bangku yang ada di tiket, walau harus berpisah dengan temannya. Nah, di acara ini gue sempat syok karena meskipun udah dapat tiket beserta nomor bangkunya, semua orang duduk sesuka hati. Gue kaget karena bangku gue udah ada yang nempatin. Tapi sepertinya itu udah lumrah di sana, gue jadi harus duduk ngasal juga walau dengan hati yang terganjal dan memikirkan "Why am I doing this?!"

Straightforward

Ini hal yang bikin gue trenyuh, tapi kadang juga risih. Emak gue sebagai orang Makassar tulen, masih suka banget mempraktikkan ini. Saat lagi di restoran dan emak suka banget makanannya, dia pasti memuji si pemilik restoran atau saat bayar di kasir. Aksi sederhana, tapi sangat membahagiakan bagi para pekerja di restoran itu. "Mie ayamnya enak. Tetap begini ya, kebersihan juga terus dijaga." atau "Biasanya saya nggak habis kalo makan beginian, tapi di sini saya malah pengen nambah." Atau kalau makanannya nggak terlalu luar biasa, emak biasa ngajak kasir/pemiliknya ngobrol santai.

Tapi saat ada yang mengganjal, emak suka banget protes! "Mas, ini kuahnya kok kurang panas?" atau "Asin banget ya?" dengan keras supaya didengerin. Gue suka protes dengan kebiasaan protes ini (?) Tapi kata emak, itu justru membantu restorannya biar meningkatkan kualitas. Memang benar sih. Tapi tetap aja gue risih. Entah ini baik atau buruk, tapi saking cueknya gue, kalo enak ya syukur, kalo nggak enak ya udah nggak usah ke situ lagi. Wk.
 

Kekeluargaan yang Lekat

Ini hal yang gue suka dari keluarga di daerah. Semuanya saling peduli. Saat ada yang ngadain hajatan, semua keluarga, bahkan tetangga, pasti saling bantu, apapun itu. Saat ada yang diopname, tiap hari pasti ada yang datang atau minimal bawain makanan buat yang jaga. Waktu itu gue sempat demam dan emak pake ngomong di grup WhatsApp. Eh bener, para tante langsung berdatangan, padahal gue cuma demam karena kelamaan duduk di depan AC!

Mas Bakso Perhatian

Di dekat rumah oma di Minasa Upa, ada tukang bakso langganan kami. Nah, waktu itu kami makan di sana, dan minta minum Aqua gelas. Karena si mas ini nggak nyediain Aqua gelas, dia sampe tancap gas ke warung terdekat cuma biar bisa nyediain Aqua gelas buat kami, padahal kami nggak maksa pengen minum itu! Beda banget sama di sini yang "Mas, ada Aqua gelas?" "Nggak ada mbak." The end. No Aqua gelas for you.

Soal Hospitality, Ada SOP?

Emak sebagai orang Makassar asli pun merasa aneh soal ini. Seringkali, saat ke toko baju, si staf toko ngelayanin kami sambil ngobrol keras-keras dengan temannya! Sering juga saat lagi bayar di kasir, si kasir ngelayanin sambil ngobrol sama temennya, jadi pelayanannya agak lelet karena nggak fokus. Pernah juga gue lagi makan sendirian di sebuah restoran Korea yang cukup fancy, sekitar tujuh pekerjanya bergerombol di meja kasir sambil ngobrol dan ketawa-ketawa kencang. Ini bukan dosa besar sih, tapi kadang ngeganggu aja, karena kerjaannya jadi nggak fokus. Mereka nggak pake SOP-kah? 

Beberapa kali di restoran, gue minta sesuatu ke waitersnya. "Mbak, boleh tolong minta sendok lagi?" Tanpa kata-kata dan tatapan langsung, mbak itu cuma ngangguk dan bawain sendok yang gue minta dua hari kemudian. Lama banget. Dia langsung ngasih gitu aja dan pergi, tanpa basa-basi atau senyuman saat gue berterima kasih. Gue akui, hospitality di beberapa tempat di Makassar memang harus diperbaiki. Untungnya gue udah paham dengan hal itu. Gimana rasanya kalo jadi orang yang pertama kali ke Makassar, apa nggak syok dikasih muka jutek sama waiters waktu minta sendok?

Nasi Goreng dengan Telur

Selama beberapa bulan di Makassar, gue sangat merindukan beberapa makanan, salah satunya nasi goreng pinggir jalan kayak di Pulau Jawa, karena di sana nasi gorengnya beda. Saat lo cuma bilang "nasi goreng," akan dikasih nasi goreng merah. Nasi goreng biasa yang pake kecap dinamakan "Nasi Goreng Jakarta." Nah, waktu itu gue jalan kaki di Jl. Cendrawasih buat nyari si "Nasi Goreng Jakarta" ini. Ternyata ada yang jual, oh yes! Karena namanya "Nasi Goreng Jakarta," gue pikir segalanya bakal sama. Jadi gue minta tambah telur dadar. Saat penjualnya bilang "Jadi telurnya dua?", gue iyain, karena biasanya juga gue minta telurnya dua, satu dicampur di nasi, satunya didadar.

Sampe rumah, gue syok. Lah ternyata malah dikasih dua telur dadar! Gue baru ingat, nasi goreng di sana tuh emang telurnya didadar, nggak dicampur ke nasi. Jadi saat gue minta telur dadar, itu artinya dia bikin telur dadar dobel! Jadi ngakak sendiri sama kebodohan gue! Btw, meskipun itu namanya "Nasi Goreng Jakarta," rasanya tetap kayak nasi goreng merah, tapi dipakein kecap.

"Logat Jakarta"

Naq Jekarda Gaol Abez
Soal logat ini agak tricky. Gue masih bisa berlogat Makassar, tapi kedengaran fake karena memang nggak terbiasa, jadi itu jarang banget gue pake. "Yaudahlah, yang penting maksudnya tersampaikan." pikir gue. Tapi sayangnya gue merasa banyak tatapan aneh saat berlogat Jakarta kalo lagi ngomong sama orang. Lagi beli sesuatu, contohnya. Gue kadang merasa dianggap "sok" kalo lagi berlogat Jakarta, bahkan suka dikasih harga yang lebih mahal. Malah pernah ada yang bilang "Kan orang Jakarta uangnya banyak," makanya suka dikasih mahal. OMG itu hoax dari mana? :( Kami manusia biasa, yang cuma makan nasi pake telur ceplok atau Indomie aja kalo lagi harus berhemat. Nunjuk ayam di warteg aja nggak berani.

Ada satu kejadian yang bikin gue dan adek ngakak sepanjang masa. Gue dan adek lagi di Sushi Tei, ngobrol seperti biasa. Di meja sebelah ada tiga mbak-mbak berseragam kantoran. Saat kami baru duduk, mereka udah rame ngobrol seperti biasa, dengan logat Makassar. Ada momen mereka diam dan sepertinya dengerin obrolan gue dan adek. Salah satu dari mereka tiba-tiba ngomong dengan cukup kencang ke temennya "EH KALO MENURUT ELOH..." Gue langsung pengen ngakak dan pasang telinga! Seketika, obrolan mereka berubah jadi pake logat Jakarta dan ngobrolin pengalaman mereka di Jakarta, lengkap dengan "gue-lo" yang terdengar aneh. "OH YANG WAKTU ELOH DI JAKARTA ITU KHAN?" yang entah kenapa volume suara mereka jadi lebih keras dibandingkan saat ngobrol dengan logat Makassar sebelumnya. Astaga mbak, kenapa soal logat aja dijadikan kompetisi ya? Wk. Menggunakan dialek khas daerah sendiri itu bukannya nggak keren loh, people! Dialek yang beragam di Indonesia itu unik, jadi, yuk jaga. Nggak perlu lah memalsukan logat cuma demi terlihat keren. Senyaman lo aja. Bahasa dan logat itu buat berkomunikasi kok, bukan buat adu keren.

Dari semua pengalaman gue di Makassar, entah itu menyenangkan atau menjengkelkan, gue tetap cinta Makassar. Sulawesi Selatan, tepatnya. Walau insfrastruktur beberapa tempat wisatanya kurang bagus, banyak tempat yang indah banget di sana. Nggak perlu jauh ke Phi Phi Islands, coba aja ke Rammang Rammang. Nggak perlu bingung cari pantai bagus, di Selayar banyak pantai yang bikin rabun mata berkurang saking indahnya. You have to try our food, omg! Kalo lo cuma kenal Coto Makassar atau Sop Konro, lo belum melihat Makassar yang seutuhnya. Plis cobain Sanggara Balanda yang bikin gue ngefly waktu pertama kali nyoba saking nikmatnya, atau Mie Anto yang nikmat luar biasa meskipun harus joinan sama meja orang lain kalo mau makan di sana. Oh Danke, semacam keju khas Enrekang yang enak banget kalo digoreng dan dimakan sama sambal dan nasi hangat. Jalankote, si pastel sophisticated ini adalah cinta pertama gue. Oke, gue ngiler. Brb. Imma buy a flight ticket to Makassar.


ps: Gue nggak punya foto-foto yang sesuai, jadi yaudah pake foto random aja.

18 September 2017

Reunian sama Against the Current dan Jordan Eckes


Untuk kedua kalinya gue nonton Against the Current. Di konser pertama dulu, bisa dibilang gue nggak nonton mereka, cuma dengerin suara mereka, karena panggung seadanya, satu level sama tinggi penonton. Semacam "yang pendek nggak usah mimpi ngeliat wajah Chrissy!" Lagipula waktu itu gue cuma kenal mereka sebagai band cover di YouTube, dan ada Alex Goot yang ngalahin pesona mereka.
 
Nah, kali ini gue udah lumayan kenal sama mereka, meskipun tau lagu-lagunya cuma di bagian chorus. Cuma 'Dreaming Alone' yang gue nantikan sejak awal. Gue nonton bareng Adhie, Valen, Mbak Martha, Anton, juga Adel yang terpisah karena gue nggak bisa stay di satu tempat. Tempatnya di Viky Sianipar yang nggak begitu besar, jadi penonton bakal deket banget sama si band. 
 
Terpampang nyata
Ada kejadian lucu. Ada cowok, sendirian, tiba-tiba nyolek Valen, nanya caranya nyalain lighstick. Valen nggak ngerti, gue juga begitu, apalagi Adhie. Tiba-tiba Anton datang, menyelamatkan hari. Saat lightsticknya nyala, maaaan, jiwa cowok itu juga langsung nyala! Yang awalnya "Um... misi, mau nanya, tau cara nyalain ini nggak?" dengan kalem. Begitu lighsticknya nyala, dia langsung ambil lightstick itu dari tangan Anton, langsung teriak-teriak sambil lompat-lompat mengayunkan lightstick. Kami semua langsung bertatapan kaget! LOL

Show dimulai, dan sesuai dugaan, Chrissy nggak bisa diam, lompat ke sana-kemari! Di lagu kedua, kami semua diarahin masuk ke media pit. Lumayan, terpampang nyata. Oh iya, di sini gue kegirangan karena ada Jordan Eckes, gitaris We Are The In Crowd, yang jadi additional guitarist malam itu. Tapi kasian, berhubung dia bukan member Against the Current, dia nggak kena spotlight, cuma bermain gitar dalam kegelapan :( Berhubung gue udah punya fotografer, yaudah, gue nikmatin aja posisi gue yang begitu dekat dengan mereka.
 
 
Setelah tiga lagu, kami diminta keluar dari media pit. Gue baru ngeh, crowd-nya nggak begitu seru. Nggak banyak yang sing along atau minimal lompat-lompat. Tapi yasudahlah, Chrissy si kutu loncat udah sangat menghibur. Gue kegirangan saat 'Dreaming Alone' mulai dimainin.
 
Tapi zonk.
 
Baru beberapa detik, sound-nya mati. Sedih. Jiwa K-poper gue muncul. Rasanya pengen teriak "Gwenchana! Gwenchana!" macam kalo ada error di konser K-pop. HA! Awalnya agak awkward dan Chrissy tampak agak kesel, tapi dia malah ngajak penonton ngobrol. Apa yang diobrolin? Indomie! Katanya, sound check bakal susah dilakukan kalo penonton berisik, jadi Chrissy langsung digiring ke balik panggung sama manajernya. Si manajer naik ke panggung dan bilang "Semoga perbaikannya nggak lama. Kalo nggak memungkinkan, ATC bakal akustikan buat kalian." Gue malah berharap akustikan aja! Ternyata nggak pake lama. Sekitar 10 menit, mereka kembali ke panggung dan bawain 'Dreaming Alone' dari awal. Di konser ini, saat orang-orang teriakin nama members ATC, gue dan Adhie selalu janjian pake aba-aba untuk neriakin nama Jordan. Ya, kami generasi WATIC! 
 
Sepertinya Jordan ngeh kalo masih ada yang neriakin nama dia. Saat konser selesai, dia keluar dari area panggung, ke area penonton. Beberapa orang nyamperin dia buat minta foto. Gue nggak mau ketinggalan dong! Gue langsung nyamperin Jordan dan bilang kalo kami pernah berjumpa. 
 
Me: "Kita pernah ketemu 2012 lalu."
Jordan: "Barusan aja gue bilang kalo pernah konser di sini! Jadi waktu itu lo nonton ya?"
Me: "Iya! Itu pertama kalinya gue ke luar kota sendirian buat nonton konser."
Jordan: "Gila keren abis! Gue seneng bisa ketemu lo lagi sekarang! Waktu itu umur lo berapa?"
Me: "20."
Jordan: "Sekarang berapa?" *yaelah itung aja ndiri mas*
Me: "25."
Jordan: "Wah gue berasa tua! Sekarang umur gue 30!"
Me: "Yaudah sih, gak keliatan kok! Anggap aja kita seumuran."
 
Cinta lama berjumpa kembali
Pas selfie, gue nggak nyangka kalo jempol gue bakal gemeteran, padahal pas ngobrol, gue biasa aja. Setelah itu Jordan dipanggil untuk bantuin beres-beres. Ya, sekarang dia gitaris merangkap kabelis.

Saat venue udah kosong, gue, Valen dan Adhie stay di luar venue, di dekat van mereka. Sebenarnya gue nggak niat banget pengen ketemu mereka lagi dan foto bareng, berhubung gue udah pernah foto bareng mereka tahun 2014 lalu. *sombong* Valen ngebet banget pengen foto bareng Dan, jadi gue ikutan stay, karena gue pikir, kalo gue langsung pulang, gue pasti bakal jealous pas tau mereka berhasil foto bareng. Minimal usaha.
 
Saat kami nunggu, security orang Indonesia nggak ngusir, cuma "Ngapain sih nungguin? Mereka udah pulang, tau. Mending kalian juga pulang." *ini sih ngusir halus* Tapi iman Valen kuat, gue jadi ikutan. Nggak lama, kru mereka beres-beres di van, kami ngeliatin aja gitu di sebelah mereka, di belakang van. Gue puas-puasin memandang Jordan, biar diri gue lima tahun yang lalu bahagia. Yang bikin trenyuh, kru mereka ramah banget. Awalnya gue menduga mereka bakal ngusir, eh ternyata manajer mereka malah bilang "Makasih ya udah datang malam ini." Duh mas! Jordan juga sempat bilang makasih. 

Giliran Dan yang naik ke van. Cita-cita Valen terwujud, dia akhirnya foto bareng Dan. Gue tadinya mau minta foto juga, tapi gue lihat wajah Dan udah capek banget, jadinya gue nggak enak buat nyetopin dia lagi. Saat Dan udah di atas van, Valen masih aja teriak-teriak "Dan I love you! I love you, Dan!" Hahaha Jordan dan si manajer cuma ngeliatin sambil senyum-senyum. Ternyata Chrissy dan Will udah balik ke hotel duluan. Waktu pintu van udah mau ditutup, Jordan nengok ke kami, senyum sambil dadah-dadah. Sekarang kamu ramah ya mas!

Bonus:
We are the In Crowd, 2012




 
Acara hajatan Against the Current dan Alex Goot, 2014
(Read: A Goot Night with Alex Goot

12 September 2017

Kenyang di Banzaan, Ramai di Bangla, Gagal Party di Tuk-Tuk

Malam-malam kami di Phuket diisi oleh hal-hal unfaedah, cuma bolak-balik Seven Eleven. Serius, Seven Eleven di Thailand itu superb banget! Beli roti aja rasanya udah nikmat. Umpamanya, lo beli Sari Roti, nah, nanti roti lo itu dipanasin lagi, trus ditambahin bumbu-bumbu lagi biar makin meriah! Oh nikmatnya. Rasa makanan siap sajinya juga lumayan enak. Selain bolak-balik Seven Eleven, kami juga sempat berkunjung ke dua tempat ngeheits abes di Phuket.

Banzaan Fresh Market
Sayangnya hostel kami di Phuket, Conmigo Hostel, lokasinya agak jauh dari tempat-tempat wisata, jadi kalo mau jalan malam, kami antara harus jalan kaki berkilo-kilo meter atau naik tuk-tuk yang mahal itu. Nah, di malam kedua, karena males jalan kaki, akhirnya kami naik tuk-tuk seharga 130 baht (sekitar 60 ribu rupiah), padahal jaraknya cuma 2 km. Yaelah! Itu mah macam gue naik uber dari Grand Indonesia ke Kemang di jam macet pulang kantor! Tapi yaudahlah, malam ini gue gak kuat jalan jauh, karena kaki udah keseleo sejak di Bangkok.

Tiba di Pasar Banzaan, langsung banyak street food yang dijajakan. Di bagian depan, banyak makanan halal kok, no worries. Banyak juga mas-mas yang nawarin daftar menu supaya kami jajan di lapaknya. Ada kejadian lucu. Waktu kami lagi di pasar itu, ternyata ada Ghea, fellow PresUniver, yang tiba-tiba lari dan peluk Monde dari belakang sambil teriak. Di momen itu, semua mas-mas yang nawarin daftar menu tadi ikutan heboh bersorak! Suasana pasar langsung rame! Pas kami saling berkenalan sama temen-temen Ghea, mas-mas itu juga pada ikutan, kocak banget! LOL

Di Pasar Banzaan ini, lo bisa beli seafood segar yang kemudian bisa dimasakin di restoran-restoran yang terletak di lantai 2. Kami lagi nggak pengen makan seafood, jadi cuma makan streetfood aja. Gue beli mie goreng seharga 50 baht yang bentuknya mirip Mie Aceh. Di Thailand, kalo mau makan mie, lo bisa pilih, mau bentuk mie yang kayak gimana. 
Ada juga tukang sate berbagai macam jenis daging. Ada kepiting, ayam, juga babi. Harganya beragam, 30-50 baht. Btw, soal kehalalan makanan, lo cuma bisa Bismillah. Iyalah, misalnya lo makan ayam. Halal? Belum tentu. Inget kan, syarat penyembelihan yang harus baca Bismillah dsb? Emang mereka kalo nyembelih ayam atau sapi, udah pasti begitu? Kemungkinan besar sih nggak. Jadi yaudah, pasrah aja soal kehalalan makanan. Bismillah aja. Hahaha

Kami makan di lantai 2 foodcourt. Inget, kebiasaan di Indonesia yang selalu minta dilayanin jangan dibawa-bawa. Nggak ada yang bakal ngelayanin lo. Waktu gue makan di Chinatown Singapura, banyak tuh orang Indonesia dan Tionghoa yang seenaknya ninggalin meja berantakan sehabis makan. Padahal etikanya, lo beresin sendiri meja lo. Buang sampah sisa makanan di tempat sampah, nampan dan piring kotornya lo taro di tempat cucian, nanti baru ada yang nyuciin. Sisa kotoran di meja juga bersihin sendiri!

Lah kenapa gue jadi belok ke Singapura? Yaudah sekalian.

Bangla Road
Dari Pasar Banzaan, kami lanjut jalan kaki ke Bangla Road, pusat keramaian penuh dosa itu. Wk. Mulai deket Bangla, mulai banyak tuh yang nawarin klub mesum. Kami nggak tergoda. Bukan karena takut dosa, tapi karena takut duit habis. Jadinya kami jalan tanpa tujuan aja di Bangla Road yang ramai luar biasa dan semakin malam semakin banyak orang yang nggak bisa jalan lurus karena udah mabuk. Sepanjang jalan penuh dengan klub, trus banyak cewek nggak sopan. Masa jejogetan di atas meja cuma pake beha sama kancut? Apa kata mama gue?!

Gue nggak terlalu menikmati keramaian Bangla. Entah karena kaki gue yang keseleo udah berasa nggak nyaman, atau emang gue pusing menghadapi keramaian itu. Jadilah gue sama Umam yang senasib, pusing menghadapi keramaian, cuma duduk ngemper di depan toko orang, sedangkan Monde dan Zay si anak party entah mampir di mana aja.
Patong Beach mirip Pantai Losari. Minus Pisang Epe.
Pulangnya, gue mulai merengek nggak mau jalan kaki. Dammit kaki keseleo! Untungnya teman-teman gue baik banget, mereka bersedia naik tuk-tuk lagi omg thank you guys! Tuk-tuk dari Bangla Road ke hostel kami yang cuma 2 km itu mahal banget astaga! Masa abangnya minta 300 baht (sekitar 120 ribu rupiah)?! OGAH! Mau nabung naik haji apa yak?! Jadi kami agak jalan lagi, menghindari keramaian untuk nyari tuk-tuk. Ternyata sama, mereka minta 300 baht. Monde nawar dengan mengiba "Ini malam terakhir kami di Phuket, kok abang tega sih bikin kami bokek?" Akhirnya abang itu bersedia ngasih separuh harga. Tapi ya, mentang-mentang kami nawar, abangnya nggak mainin musik! Kan nggak clubbing di Bangla, minimal harus clubbing di tuk-tuk! :(
Penuh warna tapi nggak bermusik :(
Eh iya, naik tuk-tuk baik pergi tadi maupun pulangnya, pas turun, abangnya minta uang lebih dari harga yang disepakati. Jangan mau kasih ya guys! Bilang aja "Lah kan tadi udah sepakat harganya sekian!" Trus langsung pergi aja, nggak usah ngomong lama-lama.