19 March 2019

Throwback: Clubbing Perdana

Satu-satunya foto malam itu

Sesuai ritual sebelum tidur setiap malam, gue harus banget baca Quora dulu. Muncul pertanyaan "Bagaimana pengalaman Anda saat masuk klub malam?"

Ingatan gue langsung melayang ke memori di Bali tahun 2016 bersama Monde.

First, let me say what I want to say as a Linguist. Kelab. Bukan klub. Wk.


Pertama (dan terakhir) kalinya gue masuk kelab adalah di Legian.


Gue dan Monde traveling berdua ke Bali dan menginap di sebuah hotel di daerah Legian, salah satu pusat kehidupan malam Bali. Saat itu kami bertekad akan nyobain clubbing untuk pertama kalinya. Maklum, puncak kenakalan kami selama berteman hanyalah nonton konser David Archuleta di Lapangan D Senayan, pulang ke asrama jam 1 malam dan gerbangnya udah dikunci, jadi kami menginap semalaman di McD Lippo Cikarang. Atau main ke asrama cowok malam-malam buat dengerin Nightmare Side di Radio Ardan dan ngumpet saat satpam lagi keliling di zaman kuliah dulu.


Dengan celana pendek, kaus dan sendal gunung, gue dan Monde menyusuri Legian sambil sesekali menolak orang-orang yang menawarkan jablay "Ladies! Ladies!" untuk memilih tempat mana yang akan kami masuki. Sekalian norak. "Astaga mbaknya joget-joget di tiang!" Ujar kami dengan tatapan takjub.


Di ujung jalan, sudah hampir dekat Monumen Peringatan Bom Bali, kami diberikan brosur sebuah kelab. Sky Garden Bali. Setelah menerima brosurnya dan mengucapkan terima kasih, gue dan Monde lanjut jalan untuk memilih kelab.


Baru beberapa langkah, mbak yang ngasih brosur membujuk, "Ladies night lho kak, cewek masuk gratis sebelum jam 11."




Being the cheap-ass that we were, "Gratis! Cuslah kita masuk!" Kami masih punya waktu sekitar satu jam sebelum gratisan Ladies Night berakhir. Serunya, gak hanya masuk gratis, kami juga dapat minuman gratis, masing-masing dua gelas. Apa pesanan gue? Sprite. Sungguh berfaedah.


Apa yang kami lakukan di dalam sana?

Berdansa ria? Minum-minum sampai mabuk? Bersosialisasi dengan orang lain?

Nope.


Kami hanya berdiri di pojokan, minum sampai kembung dan memerhatikan orang lain yang sedang bergembira. Gue sama sekali gak berani ke lantai dansa karena terlalu banyak orang. (Ya iyalah u kira pesantren kilat?!) Semakin malam, semakin banyak orang mabuk. Botol-botol miras banyak yang jatuh dan pecah. Jogetan orang di lantai dansa semakin sensual dan banyak orang berciuman penuh nafsu, padahal mereka baru kenal beberapa menit sebelumnya. Itu semua bikin gue merasa canggung.


Maklum, mantan Remaja Masjid.




Mbak penari mulai beraksi di samping DJ, hanya dengan beha dan kancut hitam. Penarinya ada dua dan mereka bergantian, entah bagaimana cue-nya. Mbak pertama berambut agak panjang dan menari dengan semangat. Mbak kedua berambut pendek, tariannya agak lemah dan wajahnya agak murung.


Belum jam 11 malam, Cinderella pun belum dicariin emaknya, gue dan Monde memutuskan untuk keluar dari kelab. Antara udah gak nyaman dengan asap rokok dan bau alkohol yang menyengat dan badan udah encok akibat gendong ransel besar sejak pagi.


Selain pertama dan terakhir kalinya gue masuk kelab, itu juga pertama dan terakhir kalinya gue sok jadi backpacker, sok kuat gendong tas besar.

No comments:

Post a Comment