28 December 2018

Lesson Learned: Kansai, Japan


Arashiyama Bamboo Grove
Sebagai first-timer di Jepang, banyak hal-hal yang bikin gue amazed dan kadang mengutuk diri sendiri. Berikut 30 hal yang paling gue ingat soal Jepang.
  1. Sederhana tapi penting: bawa dompet koin!
  2. Orang Jepang se-helpful itu. Nggak perlu khawatir kalau nggak ngerti Bahasa Jepang sama sekali.
  3. Selalu ingat pintu keluar stasiun ke tempat tujuan.
  4. Street food canggih. Pesan di mesin, masukkan koin, serahkan struknya ke petugas supaya pesanan dibuatkan.
  5. Vending machine di mana-mana, di tempat terpencil sekalipun.
  6. Walau di tempat yang sangat ramai, gandengan tangan pasangan yang lagi kasmaran nggak akan terputus!
  7. Perhatikan informasi soal gerbong kereta. Beberapa gerbong ada yang bangkunya harus dipesan dan bayar biaya tambahan. Beberapa kereta suka pisah gerbong untuk menuju tempat berbeda. 
  8. Di eskalator Osaka, berdiri diam di sebelah kanan karena yang kiri untuk orang yang buru-buru. Di eskalator Kyoto, mestinya berdiri di kanan juga, tapi sering nggak ditaati. Jurusnya? Ikutin aja orang paling depan, dia berdiri sebelah mana.
  9. Jepang sepenuhnya bersih? Nope. Gue lihat banyak sampah berserakan di trotoar area Tsuruhashi.
  10. Gue ahli naik kendaraan umum, tapi jalur kereta Osaka merenggut status gue sebagai anak kereta tulen. Nyasar all the time.
  11. Konbini is lyfe. Puddingnya dibuat di surga. Pudding Ohayo dan Cheese Pudding 711 yang terbaik! Btw, disebutnya "Purin" bukan "Pudding".
  12. Sandwich telur konbini ENAK BANGET! Sandwich telur Lawson paling enak!
  13. Nggak usah nyari kopi enak di Jepang. 
  14. Harga air mineral 2 liter lebih murah (93 yen) dibandingkan air mineral 550 ml (100-120 yen).
  15. Orang Jepang terlalu cuek, nggak menegur orang tak tertib di publik, jadi sadar diri aja, jangan kayak orang-orang yang gue temui di Yoshikien.
  16. Penonton konsernya ada yang kalem banget, ada yang heboh banget. Nonton band rock, penonton cuma tepuk tangan ringan dan goyang kepala. Nonton grup idola cewek, dari abege sampai bapak paruh baya bisa ikutan joget loncat-loncat di pinggir jalan.
  17. Orang Jepang suka memotret tempat bagus yang mereka lihat, walau tempat itu setiap hari mereka lewati. Beda sama gue yang malas motret Jakarta.
  18. Hampir semua orang pakai iPhone.
  19. Selalu bawa paspor demi belanja bebas pajak dan karcis masuk tempat wisata gratis. (Biasanya, paspor gue tinggalkan di penginapan, cuma bawa fotokopinya aja saat berkeliling kota.)
  20. Saat kereta ramai, ada pengumuman, "Jika Anda mengalami groping atau pelecehan seksual lain, mohon segera laporkan pada petugas." Beda sama Indonesia yang, "Makanya mbak, jangan pake baju seksi. Kucing dikasih ikan asin ya mana nolak. Maaf, sekadar mengingatkan." Fyi, kucing gue nggak suka ikan asin, so your argument is invalid.
  21. Main HP di kereta boleh kok. Namun saat kereta lagi ramai atau bagi orang yang berdiri di depan bangku prioritas, main HP itu haram hukumnya.
  22. Kebingungan dan nggak berani nanya orang karena takut nggak ngerti bahasanya? Carilah bagian informasi. Hampir semua petugas informasi bisa berbahasa Inggris.
  23. Selalu perhatikan ramalan cuaca sebelum pergi. Walau hari cerah, tapi ramalannya bilang nantinya bakal turun hujan, percayalah. Bawa payung!
  24. Air putih di restoran selalu dingin atau pakai es batu, walau saat cuaca dingin.
  25. Hampir di semua restoran disediakan tempat untuk taruh tas, baik itu cantelan di bawah meja atau bak di samping meja. Jadi kita nggak perlu memanggu tas, apalagi taruh di atas meja.
  26. Loker koin is lyfe. 
  27. "Sumimasen" adalah kata yang paling sering digunakan selama di sana. 
  28. Gue sangat cinta toilet di Jepang. Selalu canggih dan bersih, baik toilet umum di mall, di stasiun, di atas kereta, maupun toilet di pinggir hutan.
  29. Nggak perlu merasa takut antrian diserobot orang karena orang Jepang sangat taat ngantri.
  30. Wajah Arashi ada di mana-mana. Legendaris sekali lima anak Papa Johnny ini! Matsujun paling ngehits!
  31. BTS, Tohosinki (TVXQ!) dan TWICE are K-pop gods.
  32. Di Jepang nggak ada Hokben atau sepatu Wakai! Wk.
  33. You'll always want to come back.

18 December 2018

Wakayama, Kota Pesisir yang Cantik dan Sepi

Porto Europa
Prefektur Wakayama jadi destinasi terakhir gue di Jepang. Lagi-lagi bangun kesiangan,  gue hanya bisa mengunjungi Kota Wakayama, walau sebenarnya gue pengen menjelajahi Wakayama secara menyeluruh, seperti ke Shirahama/Kushimoto, area yang banyak pantainya dan ke Stasiun Kishi yang Kepala Stasiunnya adalah... seekor kucing! Next time, gue harus menginap beberapa hari di Wakayama! Gue naik kereta JR dari Stasiun Tamatsukuri ke Stasiun Tennoji untuk kemudian berlanjut ke Stasiun Wakayama. Kali ini gue pakai JR Kansai Area Pass dengan masa berlaku dua hari seharga 4.300 yen, supaya besoknya bisa gue pakai ke bandara. Kalo tiket ketengan, dari pusat kota ke bandara itu mahal! 

Untungnya gue dapat tempat duduk dan akhirnya ketiduran di kereta. Gue terbangun saat ada pengumuman kalau gerbong kereta akan dipisah di Stasiun Hineno. Gerbong 1-4 akan menuju Bandara Kansai dan gerbong 5-8 akan menuju Wakayama. Gue melihat nomor di pintu, oh ternyata gue nomor 6. Nyantai, nggak usah pindah gerbong. Gue lanjut memejamkan mata. Kemudian gue terbangun lagi saat diumumkan bahwa kereta akan berhenti di Stasiun Rinku Town dan gue sadar, gue salah gerbong. Ternyata yang harus dilihat itu nomor di layar informasi, bukan di pintu, dan gerbong yang gue naiki itu adalah gerbong nomor tiga, jadi gue kebawa ke arah Bandara Kansai. Hadeh! Gue langsung turun di Stasiun Rinku Town untuk balik lagi ke Stasiun Hineno.

Tiba di Stasiun Hineno, ternyata ada jalur langsung ke Stasiun Wakayamashi, yang justru lebih dekat untuk jalan kaki ke Wakayama Castle dibandingkan Stasiun Wakayama. Okelah gue naik kereta itu. Perjalanannya sekitar 30 menit, dan gue senyum-senyum sendiri melihat pemandangan lewat jendela. Indah banget! Pemandangannya dihias perbukitan dengan warna khas musim gugur dan berbatasan langsung sama laut. Gue udah merasa akan jatuh cinta sama Wakayama.

Sampailah gue di Stasiun Wakayamashi. Di pintu keluar, saat masukin kartu JR, gerbangnya malah tertutup. Kusedih. Gue langsung nanya ke petugas informasi, dan ternyata gerbang yang gue lewati itu gerbang stasiun Nankai, bukan JR. Bukannya nyuruh gue balik ke gerbang stasiun JR, petugas itu malah bukain gerbangnya buat gue, lengkap dengan "Douzo." (Silakan.) Astaga gue terharu! Udah dibukain gerbang, dipersilakan pula! I love Japan, ok?!

Hal pertama yang gue lakukan begitu menghirup udara Wakayama? Nyari pudding dan sandwich telur favorit di 711! Di sini gue menemukan pudding keju 711 yang enaknya bikin gue pengen tinggal di Wakayama aja! Sepertinya pudding keju ini semacam special edition, karena baru di 711 depan Stasiun Wakayamashi ini gue nemu. Btw, cheesecake 711 juga enak! Hanya dorayaki keju FamilyMart yang tak berhasil gue temukan.

Segitu sepinya
Jalan kaki 1,5 km dari Stasiun Wakayamashi menuju Wakayama Castle, gue merasakan tenangnya kota ini. Kota Wakayama cukup modern dengan jalanan yang besar dan banyak gedung perkantoran, tapi rasanya kota ini sepi! Di jalanan utama aja jarang ada mobil. Kyoto aja nggak sesepi ini loh! Di kota ini, gue hanya mengunjungi dua tempat: Wakayama Castle dan Marina City.

Wakayama Castle

Dijaga banyak burung gagak. Ada elang juga!
Untuk menuju ke kastil, kita bisa lewat jalur depan atau jalur belakang. Gue memilih jalur belakang, yang ternyata mendaki melewati hutan sepi dan naik puluhan anak tangga. Saking sepinya, otak gue penuh banyak pertanyaan, "Jangan-jangan kastil ini tutup?" "Di sini masih ada harimau nggak ya?" Yekali! 



Saat gue udah naik banyak anak tangga dan melewati jalanan menanjak, gue baru sadar kalau di bawah sana ada kebun binatang kecil. Mestinya gue eksplor bagian bawah dulu! Tapi gue udah malas turun lagi, jadi yaudah nontonin dari atas aja. Semakin dekat ke kastil, jalanan semakin menanjak dan gue mulai mencari tempat duduk. Beberapa kali gue dibalap sama kakek-nenek yang lebih kuat dari gue! Sebenarnya pendakiannya nggak begitu sulit sih, cuma mungkin guenya yang udah capek jalan kaki jutaan kilometer selama 9 hari terakhir. (Alasan!)

Kalah kuat sama nenek-nenek
Di area halaman kastil, ada viewing spot terbaik untuk memandang bangunan kastil, namanya "Former Site of Honmaru Goten", begitu tulisan di papan penjelasannya. Honmaru Goten yang asli sudah dipindahkan ke sisi lain kastil.


Momijidani dari luar
Puas dengan hanya memandangi kastil dari jauh, gue lanjut jalan ke Momijidani Garden yang letaknya di jalur depan Wakayama Castle. Tamannya nggak begitu besar, tapi cakepnya nggak nyantai woy! Gue berasa lagi di "wallpaper ponsel in real life". Saking sibuk keliling sambil menikmati keindahan taman, gue sampe lupa untuk foto-foto, jadinya cuma ada sedikit foto. Ah biarlah, kenangan keindahannya tetap tersimpan di ingatan gue.


Hai cantik!
Keluar dari area Wakayama Castle, gue menuju halte bus untuk lanjut ke Marina City. Berhubung batal ke Kushimoto tapi gue ngotot ingin merasakan laut Jepang yang kalau di dorama rasanya romantis banget, gue memutuskan Marina City jadi tempat yang tepat. Di Google, hanya ada informasi rute bus dari Stasiun Wakayama/Wakayamashi ke Marina City, tapi nggak ada informasi rute dari Wakayama Castle ke Marina City, jadi gue bertanya langsung ke Pusat Informasi. Dari Wakayama Castle, naiklah bus nomor 121 (bukan Mayasari ke Cikarang ya!) yang tujuan akhirnya memang Marina City.

Marina City


Perhentian bus Marina City
Sekitar 30 menit dari Wakayama Castle, tibalah gue di Marina City yang nggak terasa Jepangnya. Memasuki kawasan Marina, mulai banyak bangunan khas Eropa beserta parkiran yacht. Di area Marina ini ada Kuroshio Fish Market untuk jajan makanan khas Jepang, Porto Europa Theme Park dan Kuroshio Onsen. Gue hanya sempat masuk ke Porto Europa.


Theme park with a view
Porto Europa adalah taman hiburan yang bertema Eropa. (What else?!) Masuk ke Porto Europa ini gratis, kita hanya wajib bayar kalau mau naik wahana permainannya. Untuk merasakan suasana yang berbeda di Jepang, Porto Europa ini oke banget! Nggak begitu rame pula, mungkin karena saat itu bukan akhir pekan. Menyusuri lorong-lorong di theme park ini, gue berasa beneran lagi di Eropa, padahal sih gue belum pernah ke Eropa. Wk.




Asyiknya, di setiap spot utama, ada tiang yang disediakan buat meletakkan hp, jadi kita tinggal atur timer (Gue sih pake Samsung S Pen. Bukan iklan. Cuma mau nyombong.) buat foto-foto dengan latar cantiknya Porto Europa. Tempat ini tutup jam 4 sore. Kemudian Rima ngasih tahu kalo tempat ini adalah salah satu lokasi syuting Fullmetal Alchemist, filmnya Yamada Ryosuke. Ah andai gue tahu sejak awal, gue akan menyusuri Porto Europa dengan lebih saksama, mencari sisa-sisa DNA dek Yamada!


Sungguh memahami hasrat netijen

Atapnya lucu mb?
Hp ketinggalan mb!

Keluar dari Porto Europa tepat pukul 4 saat pengunjung disuruh pulang takut dicariin mama, gue masih harus menunggu bus sekitar setengah jam. Untuk ke Stasiun Wakayama, kita bisa naik bus #42 atau #121. Gue pikir tanggunglah, matahari terbenam sekitar satu jam lagi, jadi gue menghabiskan waktu untuk duduk di pinggir laut menunggu pemandangan matahari terbenam sambil mendengarkan suara burung gagak, lengkap dengan musik tradisional Jepang dari speaker sebuah restoran di dekat situ. Sayangnya nggak ada suara deburan ombak, karena emang nggak ada ombak. Kurang niichan juga. Romantisnya berkurang!


Mellow di pinggir laut
Sambil menikmati pemandangan dengan suasana yang begitu tenang, banyak pikiran yang berpacu di otak gue, minta dipikirin duluan. Gue mengingat kilas balik perjalanan gue selama 9 hari ini. Gue mengingat masa-masa norak gue berkhayal ke Jepang. Gue berpikir, "Bakal bisa ke sini lagi nggak ya?" Sampai akhirnya... gue nangis. Kurang lebay apa coba?! Antara terlalu bahagia impian gue ke Jepang bisa tercapai atau sedih karena harus berpisah dengan Jepang. Atau mungkin memang hanya terbawa suasana. Untung nangisnya cakep kayak menang Indonesian Idol.

Imma tell you a secret. Setiap melihat jam dan ternyata itu menunjukkan tepat pukul 11:11 (bukan tanggal harbolnas!), gue selalu mengucapkan permintaan dalam hati. "Gue mau ke Jepang," ucap gue. Walau nggak percaya takhayul, tetap gue lakukan aja sebagai hipnotis diri. Akhirnya itu terwujud. Okay, that's no longer a secret. Kini gue harus mengucapkan kalimat hipnotis lain.

Kenangan gue di Jepang terlalu indah. Saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, gue merasa seperti terbangun dari tidur, dan yang gue alami beberapa hari sebelumnya itu hanya mimpi. See you, Japan!

(Read my full story HERE)

16 December 2018

Osaka Castle Cakepnya Nggak Nyantai!

The Castle
Setelah berpindah ke Osaka, gue nggak punya itinerary khusus selain Ikuno Korea Town, Minoo Waterfall dan ke Wakayama, juga jajan takoyaki di Dotonbori. Di hari pertama tiba di Osaka, gue merasa bahwa Osaka bukanlah kota favorit gue. Terlalu ramai. Semua orang terlalu terburu-buru. Beda sama Kyoto yang rasanya lebih tenang. Di hari pertama gue di Osaka, gue malah merindukan Kyoto.

Gue kemudian minta saran lewat Instagram, gue harus jalan-jalan ke mana. Beberapa teman merekomendasikan Osaka Castle. Gue tahu Osaka Castle adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi di Osaka, tapi justru karena "wajib dikunjungi" itu, gue jadi gak antusias. "Pasti ramai," pikir gue. Gue memang gak begitu suka keramaian. Gue bahkan menghindari pergi ke mall di akhir pekan. "Tapi kok suka nonton konser? Konser kan juga ramai." Kata beberapa orang. Yes, gue mah bela-belain menghadapi keramaian konser demi melihat aksi idola. Namun setelah pulang ke rumah, rasanya energi gue terkuras habis.

Romantis!
Namun daripada waktu gue mubazir hanya bermalasan di hostel, gue langsung jalan kaki ke Osaka Castle yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari hostel tempat gue menginap. Ternyata tempatnya nggak seburuk yang gue bayangkan. Ini bahkan jadi tempat terfavorit gue di Osaka, cantik banget di musim gugur! Memang ramai sih, tapi gak menyesakkan itu. 


Di hari pertama gue ke sana, rasanya bahagia banget cuma duduk nyantai di depan air mancur sambil makan sandwich telur favorit (lagi) dan kopi kemasan yang kayaknya ngehits banget, tapi ternyata rasanya malah cuma kayak air putih yang ditaburkan khayalan akan kopi, lengkap dengan pertunjukan buruk gagak dan burung merpati yang berkejaran di udara. Hari itu cerah, jadi banyak warga sekitar yang jalan-jalan juga ke sini, menikmati hangatnya matahari yang mulai langka di akhir musim gugur. Baru di Jepang ini, gue berharap ketemu matahari setiap hari. Biasanya sebel, takut kepanasan. Wk.

Kopi yang nggak kayak kopi
Setelah puas bersantai dan melihat kegiatan warga sekitar, gue berjalan menuju kastilnya. Pemandangannya tampak magical, kastil bersejarah bersanding dengan gedung-gedung pencakar langit. 

Kastil tetanggaan sama gedung perkantoran
Di halaman kastil, naik ke atas sini deh!
Beberapa teman gue berkata bahwa gue harus siap-siap capek naik jutaan tangga menuju halaman kastil. Di pintu masuk kastil bagian depan, memang banyak tangga untuk menuju halaman kastil, bahkan ada pasangan yang pake baju pengantin menyusuri tangga itu untuk foto pre-wedding di halaman kastil! Maapkan si anak malas ini. Abort mission. Gue nggak jadi naik ke tangga itu, tapi gue tetap berjalan menyusuri bagian luar kastil sambil sesekali berhenti untuk menikmati pemandangan dan daun-daun musim gugur.

Ada yang sambil melukis
Gue akhirnya masuk ke halaman kastil lewat pintu belakang yang ternyata jalurnya lebih mudah, nggak perlu naik banyak tangga. Yayy! Gue tawaf dulu, keliling sungai yang mengelilingi kastil, dilanjutkan dengan (lagi-lagi) duduk bersantai melihat kegiatan warga yang juga sedang bersantai. Gue nggak berniat masuk ke dalam kastilnya, jadi ya gue cukup senang dengan hanya duduk-duduk ditemani seekor burung gagak. Yes, ini pertama kalinya gue melihat burung gagak dari jarak dekat! 

Nontonin pemotretan pre-wedding orang
Bisa keliling naik perahu
Nggak banyak hal yang gue lakukan di Osaka Castle ini selain jalan keliling, duduk lagi, jalan lagi, duduk lagi, gitu aja terus sampe pulang. Walau hanya begitu, perasaan gue rasanya lega banget! Untuk rute kembali ke taman air mancur tadi, gue jalan kaki menyusuri jalur yang agak lebih terpencil, bahkan kayak hutan-hutan gitu. Jiwa gue bergelora. Parah cakepnya nggak nyantai! 

Cakepnya nggak nyantai! Both orang dan pemandangannya. Ehehehe
Besoknya, gue batal ke Minoo Waterfall karena harus ikut training online wajib dari perusahaan tempat gue bekerja freelance. Karena jarak Minoo Waterfall yang cukup jauh, nggak keburu kalau berangkatnya udah siang, gue batal ke sana dan mengalihkan tujuan ke Osaka Castle lagi. Gue masih ingin menyusuri hutan-hutan terpencilnya itu.

Anak ilang
Di hari kedua ini, sinar matahari langka, diganti dengan embusan angin yang cukup bikin tulang bergetar. Dingin! Kali ini gue sempatkan foto-foto romantis sendirian aja dan keliling sebentaran sambil jadi fotografer dadakan untuk keluarga-keluarga muda yang bawa anak kecil. Tiap ketemu keluarga muda yang foto-foto tapi nggak bisa foto lengkap atau sesama solo traveler yang sibuk selfie, gue selalu menawarkan diri untuk fotoin mereka. Gemas! Sepertinya gue merindukan interaksi manusia.

Ngeliatin apa mb?
Sore harinya, saat langit mulai gelap dan embusan angin semakin kencang, gue pergi mencari kehangatan di Dotonbori.


(Read my full story HERE)

14 December 2018

Fangirl Day in Osaka: Ikuno Korea Town and Tower Records

Rak serba 1000 yen di Ikuno
Niat ngeblog gue mulai mampet. Antara malas dan nggak mau semua curhatan tentang Jepang ini berakhir dan gue merasa nggak ada lagi yang gue nantikan. Huks!

Mari lanjutkan.

Di hari keenam, gue berpindah kota ke Osaka. Rencananya, pagi sebelum ke Osaka gue akan ke Kyoto Imperial Palace dulu, karena lokasinya yang tepat di samping hostel gue. Bodohnya, gue nggak cek jadwalnya. Saat lihat TripAdvisor, ternyata Kyoto Imperial Palace tutup di hari Senin. Oke. Tarik selimut lagi sambil nunggu waktu check out.

Di Osaka, gue menginap di Sun Village Tamatsukuri yang berjarak beberapa ratus meter dari Stasiun JR Tamatsukuri. Saat gue datang, petugas front desknya ramah banget! Gue dibolehin check in dua jam lebih awal dari seharusnya. Gue juga dikasih bunk bed bagian bawah sesuai permintaan gue. Saat lihat paspor gue, mas itu, yang lupa gue tanyakan namanya, langsung menyapa dalam bahasa Indonesia. "Apa kabar?" Kemudian dia cerita, sebulan yang lalu dia liburan di Bali! Hostel ini nggak sebesar yang gue tempatin di Kyoto dan lokasinya di gedung apartemen gitu. Kali ini gue mendapatkan pengalaman baru. Saat ditunjukkan kasur gue, ternyata linennya harus pasang sendiri. Okelah gue udah jago pasang sprei dan sarung bantal. Nah, yang ribet itu pasang sarung selimut. Gue baru tahu kalo di Jepang, selimutnya itu ada sarungnya juga. Kalau ada yang bantuin pasang mungkin akan lebih mudah, tapi karena gue sendirian dan selimut itu besar, jadi... yaudah heboh sendiri. Saat check out, ini semua lepas sendiri lagi dan taruh di keranjang masing-masing yang tersedia.

Handuk muka, handuk badan, sarung bantal, sarung selimut, sprei
Setelah kehebohan pasang sarung selimut, gue langsung jalan kaki ke Ikuno Korea Town di daerah Tsuruhashi yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari hostel. Ikuno Korea Town adalah pemukiman keturunan orang Korea terbesar di Jepang. Belum bisa ke Korea, minimal ke Korea Town dulu yes. 

Baru ingat foto saat udah mulai tutup
Tiba di Ikuno, jiwa fangirl gue bergelora, berasa disambut para oppa! Kawasan ini penuh toko yang jualan pernak-pernik K-pop, juga restoran dan kedai jajanan khas Korea. Gue nih anaknya males belanja, tapi di sini, there goes all my money. Gue diporotin oppa. Gue mampir di sebuah toko CD dan di toko itu ada rak khusus CD dan DVD obral. Cuma 1000 yen guys! Aku kesetanan! Semuanya original kok, tapi memang rilisan lama. Lumayan, gue beli satu CD FT Island dan satu DVD CNBLUE. Gue juga kalap beli pin idol bentuk lightstick. Awalnya sih cuma beli WINNER, EXO dan Monsta X, tapi gue merasa nggak adil. Jadinya yaudah sekalian borong Block B, iKON, dll. Di kawasan ini ada beberapa speaker yang memutar lagu-lagu K-pop, gue jadi pengen joget. Buat penggemar K-pop dan K-drama, kawasan ini berasa surga di Bumi. Untungnya gue cuma ngiler beli CD dan pin kecil, nggak sampai lightstick. Bisa jatuh miskin! Di Ikuno, gue menyadari, kemampuan Bahasa Korea gue ternyata lebih bagus daripada Bahasa Jepang gue. Gue banyak cek ombak pake Bahasa Korea di sini, karena biasanya ibu-bapak-kakek-nenek penjual masih berbahasa Korea.


Setiap beli CD, biasanya dikasih bonus poster atau foto. Nah, karena gue beli CD EXO, gue dikasih foto EXO yang sungguh mengiris hati. EXO-M! Sorenya, saat gue balik lagi ke toko ini dan beli pernak-pernik lagi, bu kasirnya nanya ke gue dalam Bahasa Jepang, yang gue nggak tahu artinya, tapi gue tahu maksudnya apa. Mau foto siapa. "CNBLUE wa WINNER joahaeyo." (Saya suka CNBLUE dan WINNER). "CNBLUE obsseoyo," (CNBLUE nggak ada.) kata ibu itu. Akhirnya gue dikasih foto WINNER, yang lagi-lagi membuat hati perih. WINNER zaman masih ada Nam Taehyun. Gue kemudian lanjut keluar-masuk toko pernak-pernik K-pop.

EXO-M. Hati berdarah
Soal makanan, andaikan gue suka kimchi atau makanan tradisional khas Korea lain, mungkin gue akan bahagia banget. Sayangnya gue norak. Jadi gue cuma jajan corndog isi mozarella dan ayam goreng berbumbu, sambil berdiri di pojokan dekat vending machine dan tong sampah, plus lagu-lagu K-pop di speaker. 

Isi tenaga habis diporotin oppa
Matahari mulai terbenam, toko-toko mulai tutup. Gue memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Saat jalan kaki menuju stasiun, ada toko K-pop besar banget, dan gue mampir lagi. Belanja CD lagi. Bokek lagi. Di toko ini jual banyak pernak-pernik official berbagai grup idola. Gue naksir banget liontin permata Lay EXO, tapi untungnya mahal, gue tahu diri.

Gue memutuskan untuk ke daerah Namba, entah mau ngapain. Gue memang nggak punya tujuan pasti untuk di Osaka. Tiba di Stasiun Namba, gue nitip barang-barang di loker dan melanjutkan perjalanan tanpa arah. Di jalanan utama, ada gedung Tower Records, toko musik tersohor di Jepang.

Bagian musiknya ada dua lantai; Musik Asia di lantai 5, musik Barat di lantai 6.
Sebelum mulai
Gue ingin kalap, tapi malaikat berbisik, "Jangan sok kaya!" Di bagian pojok lantai lima, orang-orang ngumpul. Ternyata bakal ada band yang tampil. Wah bahagianya gue bisa nonton penampilan band Jepang gratisan, langsung di negaranya pula!

Jadwal penampilan di Tower Records Namba
Band yang tampil bernama Dramatic Alaska. Mereka akustikan dan musiknya asyik! Mereka juga sering ngobrol sama penonton, tapi gue nggak ngerti. Huks! Saat mereka tampil, ingin rasanya gue heboh dan lompat-lompatan. Namun sayang, penonton lain nggak ada yang heboh. Mereka hanya tepuk tangan sambil mengayunkan kepala. Yang motret atau merekam pun nggak ada, jadi gue pun nggak enak buat ngeluarin kamera. Setelah tampil, ada sesi fan signing. Ingin rasanya gue ikutan, tapi karena harus beli CD mereka yang seharga 3000 yen, gue hanya bisa menatap dari pojokan. Kalo lihat video-video fan signing artis Korea, fans tuh rajin ngasih kado dan idolanya rajin gombal dan genit. Saat gue lihat fan signing ini, ternyata dunia musik Jepang berbeda. Artis dan fansnya lebih kalem, hanya ngobrol sebentar kemudian saling membungkuk.

Fan signing Dramatic Alaska
Setelah puas tawaf di seluruh bagian musik lantai 5 dan 6, gue memutuskan pulang. Takut merasa dirampok oleh hasrat beli CD.

Di Stasiun Namba, gue mengutuk sekaligus menertawakan diri gue. Bodoh banget! Gue lupa barang gue ada di loker sebelah mana dan Stasiun Namba itu luas banget, mungkin seluas Teluk Pucung. Hampir setengah jam gue keliling Stasiun dengan kaki dan pundak yang udah meronta ingin diistirahatkan. Akhirnya ketemu dan gue memaki diri dalam hati sepanjang perjalanan balik ke hostel.

Buat apa? Entah.
Buat apa? Entah (Part 2)
Btw, di malam pertama gue di Osaka, gue malah merindukan Kyoto. Osaka terasa terlalu ramai, semua orang terburu-buru, dan jalur keretanya ribet!

(Read my full story HERE)

12 December 2018

'Nara' Keliling Kota Nara

Yoshikien
"Kak Nara, ya?" kata abang transportasi online setiap menjemput gue. Begitu juga dengan para barista. Atau petugas waiting list (?) restoran. Gue selalu ngaku-ngaku bernama Nara di ranah publik, dan teman-teman gue yang tadinya bingung, akhirnya mengerti. "Gue pengen ke Nara," jawab gue setiap ditanya.

Musim gugur 2018, gue beneran menginjakkan kaki di Nara.

Gue mulai naksir Nara sejak nonton film dokumenter tentang kota ini di channel NHK, dan kelihatannya indah banget, trus kayak di negeri dongeng karena rusa-rusa yang berkeliaran di Nara Park.

Nara jadi destinasi di hari kelima gue di Jepang karena tiket keretanya masih ditanggung sama JR West Wide Area Pass yang memang masa berlakunya lima hari. Tiba di Stasiun Nara, gue lebih banyak melihat turis internasional dibandingkan tempat-tempat lain yang gue kunjungi. Sepertinya Nara memang jadi tujuan favorit sejuta umat. Kutak sendiri. 

Untuk ke Nara Park dari stasiun, gue naik bus #2 tepat di depan Stasiun JR Nara. Bus ini juga melewati Stasiun Kintetsu Nara. Di bus ini, gue barengan sama banyak orang Indonesia! Tiba di Nara Park, gue baru menyadari kalo diri gue ini sotoy. Sok-sokan mau main sama rusa Nara, tapi begitu dideketin, gue takut! Wk. Saat gue lagi foto-fotoin seekor rusa dengan jarak dua meter, tiba-tiba ada anak Korea mendekati gue, melihat rusa yang sama. Dia pengen ngelus rusa itu, tapi takut. "Musowo!"  ("Takut!") kata dia sambil ragu-ragu mengulurkan tangan ke si rusa. "Gwenchana, anmusowo," ("Nggak apa-apa, nggak serem kok.") jawab gue, sambil lanjut foto-foto, tanpa berani nyentuh itu rusa. Sungguh sotoy kuadrat.

Ini pake zoom kok.
Todaiji
Kolam di depan Todaiji
Dari Nara Park, gue berjalan ke Todaiji yang memang terletak di satu area. Rame! Tapi untung areanya cukup besar, jadi nggak begitu menyesakkan. Gue nggak masuk ke kuilnya, karena antrean untuk masuk cukup panjang. Aku anaknya malas ngantri panjang qaq! Yaudah, gue keliling area kuil aja, karena tamannya cukup bagus dengan kolam sebagai pelengkap. Di samping kanan kuil, ada jalanan menuju tempat sepi, padahal areanya luas banget. Gue nggak tahu itu tempat apa, tapi yaudah, gue tetap ke sana aja. 


Isuien Garden

Taman Belakang
Terus berjalan, gue nembus di kompleks perumahan warga, dan di ujung perjalanan tanpa arah gue, ada tempat bernama Isuien yang tampaknya sepi. Gue sempat lihat foto-foto taman ini di Google dan naksir banget, tapi nggak berencana ke sana karena karcis masuknya yang mahal, 900 yen. Namun mumpung udah tiba di sana, gue memutuskan untuk masuk ke taman itu. 


Taman ini terbagi dua, taman depan dan taman belakang. Di dalam taman ini ada tea house, tapi mahal. Gue lupa harganya berapa. Wk. Tadinya gue pengen lunch di tempat ini aja sambil memandangi taman, dengan suguhan dan cara makan yang tradisional, lumayan buat menambah pengalaman. Namun gue sadar, sushi aja gue nggak suka, apalagi makanan tradisional begini. (Emang sushi nggak tradisional?!) Gue takut malah menyinggung sang koki dengan tidak memakan masakannya.

Silau tapi dingin
Isuien Garden ini nggak terlalu besar, tapi enak buat duduk-duduk nyantai karena suasananya yang tenang. Di bagian luar taman ada museum kecil yang karcis masuknya udah termasuk di karcis masuk taman. Museum ini memamerkan kerajinan tangan dan peralatan makan kuno yang berasal dari Tiongkok, Korea dan Jepang. Semuanya ada penjelasan Bahasa Inggris, jadi gue bisa cukup ngerti hubungan ketiga negeri di masa lalu. Seperti biasa, pengunjung dilarang memotret di dalam museum.

Taman Depan
Yoshikien Garden

Kiri: Isuien. Kanan: Yoshikien.

Pond Garden
Pemandangan dari pondok tinggi di Pond Garden
Tepat di samping Isuien, ada taman yang nggak kalah indahnya, Yoshikien. Area Yoshikien juga lebih besar dan terbagi ke dalam tiga bagian: pond garden, moss garden dan tea ceremony garden. Karcis taman ini gratis untuk turis internasional, kita tinggal menunjukkan paspor di loket, lalu petugas akan ngasih kita booklet yang berisi penjelasan tentang taman itu. Petugas juga semacam mencatat dari mana asal kita dan berapa jumlah warga negara yang datang di hari itu. Gue jadi orang Indonesia kedua yang berkunjung ke sana hari itu. Yay! Keduax gan!

Pond Garden dari sudut berbeda
Moss Garden
Ada kejadian kurang mengenakkan saat gue lagi bersantai di area Moss Garden Yoshikien. Di suasana yang tenang, datang segerombolan orang yang berisik. Ternyata orang Indonesia. Baru datang aja, suasana taman yang tenang langsung berasa kayak pasar. Perlu banget ya heboh teriak-teriak? Kemudian mereka  foto-foto sambil menginjak Moss (lumut daun) di situ. Foto rame-rame pake spanduk pula! Tolol banget! Yes, tolol, karena ada tiga lapis peringatan bahwa pengunjung harus tetap berjalan di jalur berbatu dan dilarang berjalan di atas lumut daun:

1. Di loket, petugasnya bilang "Please keep walking on the stones."
2. Di booklet, ada penjelasan bahwa lumut daun di taman itu dilindungi, makanya nggak boleh diinjak.
3. Ada rambu "Keep out."

Gerombolan orang Indonesia itu dengan asyiknya bergantian foto-foto, lengkap dengan kalimat "Ayo, kapan lagi?!" Okelah kalo pesertanya mungkin nggak ngerti, tapi tour leadernya masa nggak bisa ngasih tahu, malah semangat foto-fotoin mereka di atas lumut daun itu? Tokai! Kemudian ada tiga cewek Jepang berdiri di samping gue, memandang mereka sambil berseru kaget, seolah-olah berkata "Astaga!" Namun orang Jepang tuh typical yang nggak mau ikut campur, jadi mereka nggak negur orang-orang itu.

Ego u!
Mbak-mbak yang syok
Gue memang nggak kenal rombongan itu, tapi entah kenapa, ada rasa malu sebagai sesama orang Indonesia. Kemudian ada ibu-ibu yang berjalan di lumut rumput tepat di depan gue. Karena malunya udah memuncak dan gue bakal kepikiran kalo nggak negur, gue langsung kasih tau aja soal larangan menginjak lumut daun ini. Please guys, kalo jalan-jalan ke tempat asing, jangan cuma sibuk foto demi ngumpulin 'likes' di media sosial. Patuhi juga peraturan dan kebiasaan di tempat yang kita kunjungi. Dan jangan mengganggu kenyamanan orang lain, ya!

Area dekat Tea Ceremony Garden
Kalo ingin menghemat dana, gue sarankan pilih masuk ke Yoshikien aja yang gratisan, karena indahnya sama, areanya juga lebih luas. 

Nara National Museum dan Nara Shopping Area

Nara National Museum
Piknik di halaman National Museum
Waktu di bus menuju Nara Park tadi, gue melihat satu bangunan yang unik, jadi setelah dari Isuien dan Yoshikien, gue jalan kaki menuju bangunan tadi, yang ternyata bernama Nara National Museum. Sayangnya udah mendekati waktu tutup, jadi gue nggak masuk ke museum ini, jadi menikmati dari luar aja. Halaman museum ini luas banget, dan banyak burung gagak! Cuma duduk-duduk sebentar, gue memutuskan untuk pulang aja, jalan kaki ke stasiun.


Dalam perjalanan ke stasiun, gue melewati satu area perbelanjaan Nara, kayak pasar gitu, jadi gue sekalian mampir aja buat late lunch. Niichan pelayan restoran katsu tempat gue makan cakep banget macam bintang dorama! Kyaaa notice me niichan! Gue lupa apa nama restorannya. Ternyata di area ini ada beberapa restoran halal lho!

Pasar (?) Nara
Nonton orang siaran, siapa tahu mendadak ada artis.
Karena dekat dengan Uji, matcha juga jadi keunggulan Nara. Banyak banget jajanan matcha, tapi untungnya gue udah kalap jajan matcha di Uji, jadi iman gue nggak tergoda di Nara. Di tempat ini juga, gue sempat menyaksikan aksi unjuk rasa, yang entah tentang apa, tapi rapi. Kagak ada tuh yang nyampah sembarangan kayak...

Ah sudahlah.


So far, Nara jadi salah satu tempat favorit gue. Seperti Arashiyama, Nara memang jadi salah satu tujuan wisata wajib di wilayah Kansai, jadinya manusianya tumpe tumpe. Namun kalo nemu sudut yang menyenangkan, tempat ini terasa banget tenang dan indahnya! Nggak sia-sia gue pake 'Nara' sebagai nama samaran. (Emangnya kenapa?!)
I love Nara!
Kini, kalo ditanya, "Kok lo pake nama Nara?" Jawaban gue sudah bukan "Karena gue pengen ke Nara," tapi "Karena gue cinta Kota Nara."

Stasiun JR Nara di waktu senja

(Read my full story HERE)