DMZ-Panmunjom, Perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan

9:01 PM

Mungkin beberapa dari kalian sadar bahwa gue sering posting soal Korea Utara di media sosial. Sejak tahun 2017-an, gue memang mulai keranjingan belajar soal Korea Utara dan sejarah perang Korea, juga penasaran sama kehidupan warga Korut. Entah kenapa sih gue jadi suka banget. Mungkin kokoro gue tersentuh soal cerita orang-orang terkasih yang harus terpisah karena perang. Mereka masih di satu negara, lalu perang terjadi, mendadak mereka harus terpisah, nggak boleh ketemu, nggak boleh berkomunikasi, juga menjalankan kehidupan yang sepenuhnya berbeda.

Walau intensitas posting gue soal hubungan Korut-Korsel mulai berkurang, ketahuilah, kegiatan gue setiap malam sebelum tidur selain nonton drakor adalah baca artikel-artikel berita terbaru tentang hubungan kedua negara. Nggak heran, berhubung belum mampu ke Korea Utara, Demiliterized Zone (DMZ) adalah salah satu destinasi yang ada di tingkat teratas bucket list gue. 

Di awal musim gugur 2019, saat gue akhirnya berpijak di Seoul, gue tentu menyempatkan diri mampir ke DMZ. Bukan cuma DMZ, gue juga ke Joint Security Area (JSA)! Meskipun semangat ngeblog gue lagi rendah banget, gue akan berusaha nulis, karena setiap detail pengalaman ini terlalu berharga untuk gue lupakan.

Perjuangan Mencari Agen Perjalanan
Gue sempat pesimistis karena JSA (Panmunjom) sulit banget untuk didatangi turis sejak kejadian tentara Korut kabur lewat JSA beberapa tahun silam. Hampir semua paket tur hanya menawarkan perjalanan ke DMZ, nggak sampai JSA. Korail juga punya program DMZ Train yang jalurnya dari Stasiun Yongsan ke Stasiun Dorasan, stasiun paling ujung Korsel yang berdekatan dengan Korut. Naik DMZ Train adalah Plan B gue, andaikan memang nggak bisa ke JSA. Namun gue pantang menyerah. 

Di sebuah grup traveling di Facebook, gue menemukan agen perjalanan bernama Panmunjom Travel Center (PTC). Mereka salah satu dari sedikit agen perjalanan yang punya izin untuk masuk ke JSA. Cus! Gue langsung email mereka untuk nanya-nanya proses ikutan turnya.

Sebulan sebelum perjalanan, gue diminta untuk submit scan paspor, beberapa data yang diperlukan dan link Facebook. Yes, sampe ditanyain Facebook! Jadi semua yang akan ke JSA harus lulus uji background check dulu. Makanya selama sebulan gue nungguin kabar approval macam nunggu kabar lulus audisi Indonesian Idol. Seminggu sebelum gue berangkat ke Seoul, surat cinta datang. Gue diterima! Yay!

Di email, gue dikasih informasi tentang beberapa hal yang harus gue setujui, misalnya:
1. Peraturan soal pakaian. Pengunjung harus berpakaian sopan. Dilarang pakai celana pendek, sandal, jins bolong, rok mini, dsb. 
2. Lensa kamera nggak boleh lebih dari 90 mm. Berhubung gue cuma jagoan kamera hp, aman!
3. Anak-anak yang ikut harus lahir di bawah tahun 2008. Gue nggak bawa anak. Aman!
4. Di hari perjalanan, paspor harus selalu dibawa karena akan selalu diperiksa oleh United Nations Command (UNC). No problem.
5. Dilarang motret atau ngerekam video sembarangan. Harus nunggu aba-aba dari pemandu, di mana tempat yang boleh dipotret, mana tempat yang dilarang.
6. Dilarang memberikan reaksi apa pun ke tentara Korut. Kalau ketemu, kita harus berlagak cuek. Dilarang senyum, menyapa, apalagi ngajak foto bareng.
7. Ada kemungkinan JSA mendadak ditutup untuk umum tanpa pemberitahuan. Nah ini dia yang agak bikin khawatir. Gue udah berharap ke JSA, kalo gagal, kan perih kokoro akutuh! Mahal pula! Perihnya dobel!

Persiapan Keberangkatan
Gue beruntung karena markas PTC adalah di Hotel Koreana, cuma berjarak satu kilometer dari hostel tempat gue menginap di daerah Jonggak. Kali ini gue rela bangun saat hari masih gelap dan jalan ke Hotel Koreana saat matahari baru terbit dengan udara pagi awal musim gugur yang agak bikin menggigil. Tiba di Lantai 8, udah ada beberapa orang yang berkumpul, tapi kantor travelnya masih tutup!

Hadeh.

Beberapa menit kemudian, petugasnya datang sambil minta maaf. Kami langsung membentuk barisan untuk daftar ulang dan bayar biaya perjalanannya. Biayanya 140.000 won, sekitar 1,7 juta rupiah. Mahal. Tapi kurela. Setelah dibagikan nomor bangku, kami menuju ke bus yang udah nunggu di depan hotel, dan berangkat tepat jam 8 pagi.


Tag harus selalu dipakai selama tur
Perjalanan dengan Bus
Di perjalanan ini, kami ditemani dua petugas (tiga, sama sopir). Satu pemandu perjalanan (Jinah) yang menjelaskan semua hal dengan berbahasa Inggris. Yang satunya mantan Warga Negara Korea Utara (Runa) yang berbagi pengalaman hidupnya. Setelah dijelaskan sedikit soal sejarah perang Korea, diadakanlah sesi tanya-jawab di bus. Serius, gue pengen nanya banyak hal, tapi sayangnya sesi ini kurang seru. Runa menjawab dalam bahasa Korea dan kemudian diterjemahkan oleh Jinah. Nah, jawaban Runa biasanya pendek-pendek dan terjemahan Jinah juga pendek, bahkan kadang nggak sesuai dengan jawaban Runa. Runa kabur dari Korut melalui Tiongkok sejak suaminya wafat. Kata Runa, dia masih bisa ngirim uang untuk keluarganya di Korut melalui agen di Tiongkok. Waktu baru datang di Korsel, seperti defector lain, dia harus melewati beberapa prosedur, seperti interogasi untuk memastikan dia bukan mata-mata, juga proses pelatihan untuk bisa berbaur di Korsel (dan dunia). Menurutnya, yang paling sulit adalah soal bahasa, karena di Korsel, bahasanya sudah tercampur dengan bahasa Inggris, sedangkan di Korut bahasanya masih sangat tradisional.

Yang gue perhatikan, pertanyaan orang-orang yang berasal dari negara Barat justru kebanyakan soal kengerian Kim Jong-un dan soal suramnya Korut, juga soal nuklir. Bisa diperkirakan, jawabannya template, jadi silakan cari aja di google.

Yang ingin gue ketahui bukan itu. Gue lebih ingin tahu soal sisi lain Korut yang jarang diceritakan media. Jadilah gue nanya,

"Apa sih kenangan bahagiamu saat tinggal di Korea Utara?"

Saat gue mau memberikan pertanyaan kedua, eh gue dipotong, cuma boleh nanya satu kali. Padahal bapak di depan boleh nanya berkali-kali. Hiks! Apakah karena pertanyaan gue... Ah sudahlah.

Runa bilang, "Kenangan terbahagiaku adalah saat Kim Il Sung masih hidup. Hidupku terasa mudah." Sekian. Cuma itu. Bukan hal detail seperti yang ingin gue ketahui.

Saat memasuki gerbang daerah perbatasan, bus kami berhenti di pos pemeriksaan. Dua tentara naik untuk memeriksa paspor kami. Khayalan gue hanya satu, "Siapa tahu yang meriksa itu Kang Minhyuk!" Dasar fangirl halu!

DMZ ini areanya sepi banget (yaiyalah!) dan masih dikelilingi hutan dan sawah. Di bagian luar hutan-hutan di DMZ selalu diberi pembatas yang melarang siapa pun masuk, karena masih banyak ranjau darat aktif yang belum ditemukan. Kami juga sempat melewati gerbang tol Kaesong, kota industri di Korea Utara. Dulunya, gerbang tol ini masih aktif dipakai untuk bolak-balik kendaraan industri karena banyak pekerja Korsel yang kerja di pabrik Korsel di Korut. Namun saat ketegangan kedua negara meningkat beberapa tahun silam (gue pengen banget nyebutin tahunnya, tapi selalu nggak ingat!), Korsel menutup pabrik-pabriknya di Korut dan gerbang tol itu ditutup, hanya dilewati Kim Jong-un untuk ke DMZ di Summit tahun 2018 lalu.

Imjingak


Freedom Bridge
Imjingak jadi tujuan pertama. Taman ini rame banget, penuh dengan bus dan turis yang suka berisik teriak-teriak. Ugh! Di sini ada Freedom Bridge. Di tahun 1953, jembatan ini jadi tempat dikembalikannya hampir 13 ribu orang tawanan Perang Korea setelah perjanjian gencatan senjata. Di gerbang ujung Freedom Bridge dan di pagar-pagar pembatas digantung pita berisikan pesan-pesan yang kebanyakan bertuliskan, "Nanti kita ketemu lagi, ya." Ugh sedih!


Banyak lubang bekas peluru
Di sini juga ada kereta uap yang udah nggak dipakai sejak zaman perang. Ada juga pilar-pilar yang bolong-bolong karena bekas peluru.



The Third Infiltration Tunnel



Terowongan bawah tanah yang digali Korut untuk menyerang titik-titik penting di Korsel. Sejauh ini, baru empat terowongan yang sudah ditemukan. Gue nggak ikutan masuk ke terowongan ini, jadinya gue cuma foto-foto area luar aja, sambil baca-baca papan penjelasan yang disediakan soal terowongan ini dan sejarah ditemukannya. Di area taman, masih banyak turis berisik yang bahkan nyabutin taneman! Kzl nda u?!

Dorasan Observatory



Siapin tenaga yang banyak untuk ke tempat ini! Kita harus jalan menanjak beberapa ratus meter dari parkiran bus. Otot betisku meronta! Di tempat ini kita bisa melihat Korea Utara, lho! Disediakan juga teleskop buat "ngintip" area terluar Korut. Namun kita pasti bingung mana area Korsel dan mana area Korut karena memang nggak ada pembatas yang jelas. Dari sini, kita bisa melihat bendera Korut terbesar yang letaknya di Kijongdong, desa palsu sebagai alat propaganda. 


Mana Utara, mana Selatan?
Fakta seru: Korsel dan Korut punya yang namanya "Perang Bendera" lho! Mereka adu tinggi tiang bendera. Saat Korsel nambah ketinggian tiang, Korut juga nambahin. Saat ini, tiang bendera Korut lebih tinggi. Ketinggian tiang bendera ini bakal terus bertambah, mungkin sampai surga.

Dorasan Station



"Not the last station from the South, but the first station toward the North."

Andaikan Utara dan Selatan tak terpisah, kita bisa lho naik kereta dari Korea sampai Eropa. Stasiun ini terasa seperti stasiun biasa, kecuali banyak tentara berseragam perbatasan kayak di film-film. Dipamerkan juga foto-foto pertemuan Moon Jae-in dan Kim Jong-un di Inter-Korean Summit, juga sekilas cerita usaha AS untuk membantu perdamaian Korut-Korsel.

Makan Bulgogi


Berasa lagi mudik
Kami mampir di sebuah restoran, rasanya tuh kayak mampir makan saat mudik ke Jawa. Sayangnya aja nggak ada sambel ulek. Di awal perjalanan, kami disuruh memilih Bulgogi atau Bibimbap. Semua sepakat milih Bulgogi. Tempat duduk udah diatur sesuai nomor kursi di bus, dan gue duduk berempat bareng satu cowok Prancis yang masih teler akibat jetlag, satu cowok Polandia yang chatty banget dan satu bapak Kanada yang keturunan Korea. Kami makan sambil ngobrol soal negara masing-masing. Gue seneng deh sama bapak Kanada ini yang tahu banyak soal Indonesia, padahal belum pernah ke Indonesia. Dia tahu soal makanan dan bahasa Indonesia yang banyak terpengaruh Belanda. Dia juga tahu, kalo ke Bali, nggak usah ke Kuta! Dia malah bercita-cita main golf di Bintan.

"Gue agak takut makan bulgogi. Di Polandia, kalo ada ngambang-ngambang di kuah ini, berarti makanannya dicampur bahan kimia berbahaya," kata si cowok Polandia. Padahal itu lemak daging! Hadeh.

Usai makan siang, ini dia bagian yang paling dinantikan. JSA! Hari itu, kami sungguh beruntung karena itu hari pertama JSA dibuka lagi setelah berminggu-minggu ditutup. Sungguh rezeki.

Camp Bonifas


Bus UNC
Bus kami sempat parkir agak lama di luar Camp Bonifas karena kami harus menunggu kawalan dari tentara UNC. Kami dilarang foto-foto apalagi turun dari bus. Di area ini berdiri bendera 16 negara yang dihormati karena membantu Korsel saat perang Korea. Di area halaman Camp Bonifas ini ada tiga tempat ibadah. Gereja Katolik, Gereja Protestan dan Kuil Buddha. Katanya, itu satu-satunya kuil di dunia di mana orang yang mau ibadah nggak perlu melepaskan alas kaki. 

Saat tentara naik ke bus dan ngasih tahu peraturan dasar untuk keliling JSA, kami menuju Camp Bonifas untuk kemudian nonton video berdurasi 15 menit. Sebelum video dimulai, kami diminta menandatangani surat persetujuan. Isinya sih kurang lebih untuk menaati semua peraturan dan siap menerima segala risiko. Setelah nonton video, pengunjung dibagi dalam dua kelompok untuk kemudian naik dua bus yang berbeda. Kali ini, busnya adalah milik UNC, bukan bus yang kami naiki seharian ini. Pemandu kami nggak bisa ikutan karena warga negara Korsel harus melewati prosedur berbeda untuk ke JSA. Di bus ini, kelompok gue dipandu sama tentara UNC asal Amerika Serikat, yang gue lupa namanya. Untungnya tentara ini bercerita dengan gaya santai banget, dan sering ngelawak! Kan akunya girang~

Menuju JSA, kami kayak lewat jalanan berawa dan kosong tempat jin buang anak, berasa mau ke Batu Raden. Setelah melewati 2 pos pemeriksaan, akhirnya kami sampai di JSA! KYAAAA!!!!

Freedom House


Halaman depan Freedom House
Masuk ke Freedom House, suasana mulai tegang karena memang sepi. Saat kami datang, lagi ada pergantian tentara. Walau suasana tegang, hati gue girang akhirnya bisa ke sini! Dari dalam Freedom House, udah keliatan tuh gedung biru yang biasanya ada di berita. Di sini kami disuruh berbaris dan tetap berkelompok. Kelompok pertama akan diajak ke rumah biru duluan, kelompok kedua akan diajak ke jembatan biru tempat Moon Jae-in dan Kim Jong-un bercengkrama dulu.


Pergantian petugas
Area Panmunjom


Bangunan di belakang itu adalah Pos Pantau Korut
Pertama, kami mengunjungi pohon perdamaian yang ditanam kedua pemimpin negara, dengan tanah dan air yang berasal dari kedua negara. Agar pohon ini hidup sepanjang tahun, UNC harus mendatangkan tukang kebun khusus. Pohon ini juga dijaga oleh seorang tentara, lho! Oke, ini pohon paling sakral di dunia! Di panmunjom ini ada jalur komunikasi antara Utara dan Selatan, karena area ini memang netral. Setiap hari, Selatan "nelepon" ke Utara untuk memastikan salurannya tetap aktif. Sayangnya, Utara nggak pernah menjawab. Berasa chatting tapi di-read doang, yes?! Btw, di area Panmunjom ini sama sekali nggak ada sinyal.


Tongkrongan Pak Moon dan Pak Kim. Bonus tentara pemandu di JSA
Kedua, kami diajak ke jembatan biru tongkrongan Moon Jae-in dan Kim Jong-un. Beberapa titik area di dekat jembatan ini dilarang difoto, jadi cuma boleh foto-foto jembatannya aja. Jadi di ujung jembatan ini ada meja dan bangku yang dibeli di IKEA. Awalnya, ini disediakan hanya untuk properti foto pimpinan kedua negara di Inter-Korean Summit. Tanpa dijadwalkan, ternyata Pak Moon dan Pak Kim beneran ngobrol di sana. Selesai acara, meja dan bangku itu akan disingkirkan, tapi pihak Korut minta area itu dijaga baik-baik karena bekas didudukin sang pemimpin. Jadilah, 24/7 ada tentara yang berdiri, setia menjaga meja dan bangku.

Blue Buildings


Bangunan di belakang itu Freedom House milik Korut
Ini dia highlight dari segala highlight gue di Korsel! Berjajar lima (mungkin) bangunan. Tiga bangunan berwarna biru yang merupakan milik UNC, dua bangunan berwarna abu-abu milik Korut. Yang boleh dimasuki turis tentunya yang milik UNC. Gilasih perasaan gue campur-aduk buat masuk ke bangunan biru ini. Bangunan yang biasanya cuma gue lihat di berita, kini gue datangi langsung! Sebenarnya, ini bangunan sementara yang berfungsi sebagai tempat berdiskusi kedua negara, yang rencananya akan dibongkar saat perang berakhir. Yah tapi sampai sekarang perangnya belum berakhir, jadi gedung ini juga panjang umur.


Hello from the North!
Saat masuk ke T2, salah satu gedung biru, kami diceritakan sedikit soal kejadian-kejadian seru yang pernah terjadi di sana. Di tengah ruangan ada sebuah meja besar dan di kedua sisi meja itu ada mikrofon. Mikrofon itu nyala sepanjang waktu dan merekam semua pembicaraan yang ada di ruangan itu. Makanya di dalam ruangan itu, kami dilarang untuk berkomentar politik. Kabel mikrofon ini letaknya tepat di perbatasan Utara dan Selatan. Makanya... GUE AKHIRNYA KE KOREA UTARA!

Yes, karena melewati batas kabel itu, gue secara teknis berdiri di tanah Korea Utara.


Undakan di sana itu namanya MDL (Military Demarcation Line), pembatas antara Utara dan Selatan
Waktu nonton 2 Days 1 Night episode Panmunjom, saat masuk Blue Buildings, mereka sampe diintipin tentara Korut! Saat gue ke sana, sayangnya nggak ada tentara Korut yang terlihat, apalagi yang ngintip-ngintip.



Ada satu tempat yang sangat ingin gue kunjungi, sayangnya nggak bisa karena harus mengikuti prosedur perizinan lain, jadinya kami cuma ngelewatin gerbangnya. 

Daesungdong Freedom Village
Ini satu-satunya desa di Korsel yang letaknya di area DMZ. Sekarang populasi desa ini semakin berkurang karena anak-anak mudanya memilih merantau ke kota besar. Berikut beberapa hal unik soal Daesungdong:

1. Yang boleh tinggal di sini hanyalah penduduk yang sudah ada sebelum perang Korea berlangsung, atau keturunan langsungnya.
2. Warga perempuan dilarang menikah dengan pria dari luar desa, sedangkan warga pria boleh menikah dengan wanita dari luar desa.
3. SD Daesungdong dikenal mencetak siswa-siswi terbaik di Korsel, dengan rasio guru-murid 1:1. Berasa les privat! Kalau ada acara kenegaraan, anak-anak yang diajak ya dari SD Daesungdong ini.
4. Para pria Daesungdong dibebaskan dari wajib militer.
5. Warga Daesungdong dibebaskan dari pajak.
6. Mereka disediakan lahan persawahan untuk pangan mereka sendiri.
7. Setiap jam 11 malam, ada daftar hadir. Jadinya semua warga dihitung, apakah sudah lengkap atau belum. Apakah ada "penumpang gelap" atau tidak. 

Buat yang suka pengalaman berbeda, atau sekadar tahu soal serunya hubungan Korut-Korsel, atau yang antusias banget sama sejarah perang Korea, jangan lewatkan DMZ-JSA saat kalian ke Korea Selatan! Kalo nggak pengen-pengen banget, mending nggak usah. Pertama, mahal. Kedua, pasti ada pikiran, "Ah stasiun doang," "Ini mah ruangan rapat biasa."

Untuk berkunjung ke sini, banyak banget peraturan yang harus diikuti. Bahkan soal motret, kita diatur, lho. Jangan sedikit pun melanggar peraturan, karena tindakan kita bisa punya pengaruh untuk hubungan kedua negara.

Tips: Kalau ke sini jangan lupa bawa air minum dan makanan kecil. Dasar orang Indonesia, takut kelaparan. Gue dan satu keluarga asal Indonesia bawa makanan. Gue bawa roti, mereka bawa roti, keripik dan nasi-lauk komplit! Kami jadi setrong sepanjang hari, sedangkan yang lainnya mulai mengeluh lapar waktu siang.

Tahun ini gue udah ke DMZ dari sisi Selatan, semoga tahun depan bisa ke DMZ dari sisi Utara, yes.

No comments:

Theme images by latex. Powered by Blogger.