Upacara Minum Teh Tak Terencana di Sankeien Yokohama
Musim panas tahun ini, gue melepas rindu dengan Jepang. Kali ini, gue mengunjungi Tokyo bersama Rima, karena rasanya kurang afdol ke Jepang tanpa mengunjungi ibu kotanya. Walau ini kunjungan kedua gue ke Jepang, ternyata masih banyak banget hal-hal mengejutkan yang bikin gue selalu ingin kembali. Satu kejadian yang nggak akan gue lupakan dari perjalanan kali ini adalah upacara teh pertama gue di Yokohama yang terjadi tanpa rencana, buah dari kebaikan Nishimura-san, pemandu wisata gue di Sankeien.
Sankeien (Garden) menjadi tujuan pertama kami di Yokohama. Taman ini menjadi salah satu tujuan utama warga Yokohama, tapi malah kurang populer di kalangan turis. Makanya nggak heran, gue jarang banget bertemu turis asing di taman ini, kebanyakan turis lokal.
Rumah musim panas Shogun |
Tepat pukul dua, Nishimura-san nyamperin gue. Ternyata nggak ada peserta lain yang datang, hanya gue seorang. Dia kemudian nanya, apakah gue udah pernah ikutan upacara teh dan tertarik ikutan? Tentu saja gue menerima, karena gue memang belum pernah ikutan upacara teh. Ini bakal jadi upacara teh pertama gue. Gue langsung salah tingkah, khawatir akan melakukan kesalahan.
"Kamu bakal tahan duduk di tatami, 'kan?" Tanya Nishimura-san.
"Semoga!" Kata gue sambil tertawa canggung.
Gue kemudian diajak ke sebuah bangunan khusus upacara teh. Sankeien ini adalah taman dengan kediaman Shogun terdahulu, juga beberapa bangunan kecil khusus upacara minum teh. Dahulu, upacara minum teh hanya dilakukan oleh para samurai, tapi ternyata para perempuan juga suka, jadi mulailah para perempuan juga melakukan upacara minum teh. Saat menuju bangunan itu, gue dan Nishimura-san bercerita banyak soal Indonesia. Ternyata beliau pernah bertugas di Surabaya! "Gimana Indonesia, masih macet? Atau semakin parah?" Katanya. Ngerti aja deh si Bapak! Hahaha! "Kamu Muslim, ya? Bagaimana makanan di Jepang? Di sini banyak yang haramu. (Haram)" Guenya senang karena dia begitu ngertinya sama Indonesia!
Nishimura-san on duty |
Di ruangan upacara, suasana sunyi dan terasa sakral. Para lelaki dan perempuan bersetelan jas lengkap. Duh gue jadi merasa underdressed! Saat gue mengikuti cara duduk mereka di tatami yang disebut Seiza, mereka ngasih tahu gue untuk duduk santai aja, nggak usah ngikutin cara duduk mereka. Mungkin mereka maklum dengan orang asing yang memang nggak biasa duduk di tatami. Sebenarnya sih gue bisa aja ngikutin cara mereka karena udah biasa duduk di atas karpet, tapi karena gue takut keburu kesemutan, yaudah gue duduk nyantai aja!
Biasanya, untuk bikin teh, gue cuma tuang air panas di gelas, celupin tehnya, tunggu sebentar, jadi deh! Nah, cara membuat teh di upacara teh ini beda banget pastinya! Gue nggak tahu istilah-istilah dalam upacaranya, jadi gue ceritain aja apa yang gue alami.
Di ruangan itu ada seorang Nenek sesepuh yang menjadi pusat upacara (?). Ada seorang mahasiswi yang bertindak sebagai pembuat teh. Pertama-tama, sang mahasiswi membuatkan teh untuk sang Nenek. Caranya sangat pelan dan halus, juga teliti. Nuang airnya pelan, ngaduk tehnya pun perlahan. Rasanya sakral banget pokoknya! Saat sang Nenek udah minum tehnya, dua mahasiswa lain datang untuk membawakan jamuan untuk para tamu, termasuk gue. Awalnya, mereka membawakan dua jenis kue manis di sebuah piring untuk tamu paling ujung, piring itu kemudian dioper-oper ke orang di sebelah untuk diambil kuenya dan ditaruh di atas kertas. Please note, karena gue nggak ngerti apa pun dan gue nggak bisa nanya, gue jadi nyontek apa yang orang lakukan untuk kemudian gue tiru.
Di sesi kedua, suasananya lebih santai. Dua mahasiswa tadi kembali lagi, kali ini menyajikan matcha hangat (rasanya pahit, nggak seperti matcha latte di kafe ya!). Setiap habis menyajikan matcha, mereka bersujud kecil ke tamu, yang dibalas oleh sujud kecil juga oleh tamu. Tehnya disajikan di semacam mangkuk kecil, lalu kita pegang dengan dua tangan. Tangan kiri di bagian bawah mangkuk, tangan kanan di sisi mangkuk untuk memegang. Sebelum tehnya diminum, mangkuknya diputar-putar dulu. Nah, gue nggak ngerti deh tuh diputarnya untuk apa atau cara yang benarnya kayak gimana. Tiba saatnya bercengkrama sambil minum teh! Semakin dekat posisi seseorang ke sang sesepuh, semakin penting pula posisinya. Sayangnya gue nggak ngerti mereka ngobrol apa. Huks!
Saat suasana kembali serius, malah terdengar cekikikan dan kegelisahan dari para mahasiswa di samping gue. Jadi gue duduk di posisi agak terpencil, tempat anak-anak badung, kayaknya. Not in a bad way ya, mereka hanya lebih... urakan. Tahu kan, di setiap kelas, pasti ada deh anak yang lawaknya lebih menonjol dari yang lainnya? Nah, begitulah teman-teman di samping gue! Ternyata mereka mulai kesemutan, beberapa mulai berkeringat. Walau bahasa kami berbeda, kami jadi ngikik bareng, berusaha nggak berisik. Sesekali kami saling berbisik, "Daijoubuka? (Kamu nggak apa-apa?)" atau "Ganbatte! (Semangat!)" sambil ngikik lagi. Duh gue kira orang Jepang udah setrong buat duduk Seiza, ternyata gue salah!
Upacara berlangsung selama setengah jam dan ditutup dengan petuah sang Nenek, yang lagi-lagi nggak gue mengerti. Saat upacara selesai, teman-teman di samping gue langsung pada ngejogrok lurusin kaki! Yang tadinya cuma ngikik kecil, kali ini kami bisa ngakak kencang karena kesemutan massal. Luar biasa, pertemanan kami terbentuk atas dasar kesemutan. Sayangnya gue nggak sempat nanya nama apalagi ngobrol dengan mereka karena nggak enak memikirkan Nishimura-san yang masih nungguin gue.
Gue menceritakan kegirangan gue ke Nishimura-san dan berkali-kali berterima kasih ke beliau. Beliau hanya menjawab dengan tertawa senang. Kemudian kami berkeliling taman, mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah, lengkap dengan penjelasan Nishimura-san. Karena di awal gue bilang gue ke sana bareng teman tapi kami berpisah, Nishimura-san berkali-kali nanyain, "Gimana teman kamu? Bilang ya kalau teman kamu sudah nungguin." Di akhir tur, gue nungguin Rima di gerbang utama taman. Saking baiknya, Nishimura-san nemenin gue! Gue bilang gue nggak apa-apa nunggu sendirian, tapi beliau juga bersikeras nemenin gue sampai Rima datang. Saat Rima sudah tampak dari jauh, baru deh beliau meninggalkan gue, tentu dengan pamitan yang sungguh menyentuh hati dan bilang, "Kalau ke Jepang lagi, main ke sini lagi, ya." Semoga yaaa suatu hari kubisa ke sana lagi, karena gue emang ingin lebih menjelajah Yokohama, kota pelabuhan yang ternyata cantik banget!
Red Brick Warehouse |
Thanks for sharing..
ReplyDelete