Solok: Antara Santan dan Singkarak
Perjalanan gue berlanjut di Kota Solok.
Dari Kota Padang, gue kembali ke Bandara Minangkabau untuk ketemu teman-teman yang baru datang dan dijemput ke Solok. Bandara ke Solok ditembuh dalam waktu dua jam. Dua jam yang menegangkan, tepatnya. Dengan jalanan yang menanjak dan berliku, kami semua tegang dengan cara yang berbeda. Ada Monde yang terus nahan teriakan lebay kalo mobil yang kami tumpangi ngebut untuk ngebalap mobil lain. Ada Brimo yang pegang apapun yang bisa dipegang (?). Ada gue yang memejamkan mata di adegan seram, meskipun akhirnya ketiduran. Beragam respon ini nggak melibatkan Randi, yang langsung tidur begitu keluar dari bandara dan bangun saat udah sampai di Solok.
Day 1: Solok Panas!
Solok terbagi tiga: Kabupaten Solok, Kota Solok, dan Solok Selatan. Nah, menuju Kota Solok, kami ngelewatin Kabupaten Solok dulu, yang pemandangannya penuh dengan persawahan dan perbukitan. Tiba di Solok siang, gue pikir Solok bakal adem karena letaknya lebih tinggi daripada Kota Padang. Ternyata... ndeeee angeknyo hariko lai! Kami sempet mampir ke BARU Swalayan, toko yang legendaris bagi kami. Toko ini milik keluarganya Umik dan zaman kuliah dulu, setiap habis liburan semester, Umik selalu bawa jajanan yang dijual di BARU Swalayan. Umik juga sering cerita tentang masa kecilnya yang berlatar tempat di toko ini. Kami nginep di lantai tiga rumah tantenya Umik. Di lantai tiga ini, gue semakin menikmati keindahan Solok. Bayangin aja, buka pintu kamar langsung dipamerin pemandangan bukit dan langit. Rumah ini berbentuk ruko. Toko barang elektronik di lantai 1, rumah tinggal di lantai 2 dan 3. Rumah ini disebut Rumah Bundo. Rumahnya Bundo. Bunda pe rumah. Di hari pertama ini, kami belum melanglang buana karena malamnya ada Malam Bainai di rumah Umik.
(Read: Umik si Ratu Solok Menikah!)
Pulang dari rumah Umik, kami mampir di kafe, namanya Pistown Company. Kafenya nggak besar, tapi unik! Ada motor parkir di dalam ruangan sebagai dekorasi kafenya. Selain untuk ngopi cantik, di dalam kafe ini juga ada barbershop! Akhirnya kami merasakan jadi anak gaul Solok. Oh iya, kami juga syok dengan harga minuman di sini. Untuk ngopi di kafe di Jakarta, kami harus merogoh dompet sambil nyari sisa recehan terakhir kembalian Metro Mini. Tapi di kafe ini, harga minumannya berkisar 13 sampai 25 ribu! Dan itu bukan minuman yang cuma air dikasih gula plus kopi sebutir. Ini beneran enak. Solok, aku padamu!
Day 2: Human Trafficking
Selesai acara akad nikah Umik, kami bertekad ingin menjelajah Kota Solok dan menggendutkan badan. Saat siap tempur, kami kembali bingung. Mau naik apa? Angkot nggak ada. Pangkalan ojek agak jauh. Uber? Mana ada~ Orang di toko elektronik Bundo bersikeras untuk nganterin kami ke Rumah Makan yang agak jauh dari Rumah Bundo. Karena mobilnya sedan, dia harus bolak-balik nganterin kami. See? Orang Sumatera Barat itu baik banget!
Makanlah kami di RM Salero Kampuang. Kami kesetanan makan dengan prinsip "fuck it we're getting fat and the cholesterol together." Nggak ada tanda-tanda kami akan berhenti makan, meskipun sebenarnya serem liat makanan yang penuh santan dan minyak. Saat perut udah hampir meledak, kami baru sadar, 18 lauk, 6 porsi nasi putih, 8 gelas minuman sudah bersatu padu di perut kami. Kami mengalami guncangan jiwa waktu mau bayar! Berapa total harga makanan kami? 279 ribu rupiah! Gilak! Solok, aku semakin padamu.
Kebingungan kembali menyerang saat kami mau pulang ke Rumah Bundo. Mau naik apa?
Untungnya, Habil, teman sekampus kami, sedang dalam perjalanan dari Bukittinggi menuju Solok. Yaudah, kita macam gelandangan di depan restoran nungguin Habil, sambil nyetopin gerobak es krim yang lewat.
Akhirnya Habil datang! Namun, ada satu masalah lagi, mobil Habil nggak muat. Randi dan Odis mengorbankan diri demi keberlangsungan hidup kami. Mereka rela jadi korban human trafficking.
Malamnya, sisa gue dan Monde di Rumah Bundo, karena Brimo dan Bunga harus kembali ke Jakarta, Habil, Odis dan Randi nganterin mereka ke bandara. This is it. Saatnya gue menjelajah kota sama Monde. Sempat mampir di Taman Syech Kukut yang ternyata nggak ada gerobak jajanan (yes, itu tujuan utama kami), akhirnya kami menemukan pusat kuliner dan menyantap dua porsi sate padang beserta ketupat. Berapa total harganya? Cuma 24 ribu rupiah! Solok, aku padamu selamanya! Abis itu kami nongkrong lagi berduaan di Pistown Company. Because. Kopi. Enak. Dan. Murah.
Day 3: Danau Singkarak
Setelah acara resepsi Umik, kami harus pulang! Di perjalanan pulang ini, kami menempuh jarak yang lebih jauh demi bisa ngelewatin tempat wisata. Kami mampir di Danau Singkarak yang awalnya gue pikir danaunya kecil, tapi ternyata besarrrr merentang di hampir sepanjang Solok-Padang Panjang. Mampir buat foto-foto ala turis, gue terpesona sama hiasan perbukitan di sekeliling danaunya dan bentuk awan di hari itu yang lagi keren. Gue makin kagum sama keramahan ibu dan bapak penjaga warung yang kami singgahi. Mereka ngobrol sama kami, akrabnya udah kayak sama saudara jauh. Selama perjalanan gue di Sumatera Barat, gue nggak berhenti ngerasain keramahan orang Sumbar. Udah tau kan, stereotype bahwa orang Sumbar itu pelit? No. Nggak. Itu sama sekali nggak benar!
Melanjutkan perjalanan, gue berusaha nggak tidur demi menikmati pemandangan, yang merupakan hal mustahil. Akhirnya gue tidur juga. Di perjalanan ke Solok, sebagian besar pemandangannya adalah persawahan. Di perjalanan pulang ini, pemandangannya lebih beragam. Danau, bukit, lembah, dan air terjun! Gue selalu mengira kalo mau liat air terjun, kita harus berjalan menyusuri hutan dulu. Di Air Terjun Lembah Anai ini, air terjunnya di pinggir jalan dong! Kami nggak sempat mampir, karena waktu penerbangan Randi udah dekat.
Ternyata kami tiba di bandara lebih cepat dari perkiraan, jadinya nongkrong untuk terakhir kalinya dulu di kantin bandara. Makan Indomie. Yes, isi tubuh penuh minyak dan santan ini butuh asupan micin indomie. Plus cabe rawit yang langsung dipetik dari pohonnya! Matahari mulai terbenam, saatnya kami mengucapkan sampai jumpa pada Ranah Minang.
Tapi zonk.
Penerbangan kami ditunda 3 jam. Impian kecil gue terwujud. Menggunakan kata ini di tempat asalnya: "KANTUIK!" Gue, Odis dan Monde terdampar di bandara, entah mau ngapain. Kalo nggak ada mereka, mungkin gue udah nangis kesel. Satu jam sebelum penerbangan, kami dikasih makan malam, sebagai ganti rugi keterlambatan. Di sini, gue baru ngeh kalo micin dan garam itu bisa membuat orang ceria. Yang tadinya kesel, kami jadi becanda gila lagi. Terima kasih, micin.
(Read: Hello, Padang!)
Tiba di Cengkareng pukul 00.00, hati gue sedikit perih, sadar liburan yang gue nantikan sudah resmi berakhir. Terima kasih Sumatera Barat, atas segala hal mengagumkannya. Gue akan kembali. Terutama setelah Umik pamer foto-foto liburan dia di Mandeh.
No comments: